Olah Raga Selam Scuba adalah
olah raga keren. Alasan pertama adalah jarang2 orang menggeluti olah raga ini,
so feel exclusive....alasan berikutnya adalah faktor resiko yang cukup tinggi,
sehingga hanya orang2 yang punya bekal nyali cukup saja yang mampu melakukannya.
Kenapa jarang orang melakukannya adalah karena olahraga ini termasuk jenis yang
mahal, Dive gear (peralatan selam) –nya mahal, tidak mudah untuk mencapai dive
spot, karena hanya dilokasi2 tertentu saja yang bisa diselami, sebagai contoh
untuk orang Jawa Timur seperti saya, dive spot terdekat adalah pesisir utara
pulau Bali, mulai dari pulau Menjangan, Pemuteran, sampai ujung timur pulau
Dewata yaitu Tulamben, perlu ongkos transport, akomodasi hotel, dive guide,
bisa dibayangkan biayanya cukup besar. Resiko Scuba Diving (Selam Laut) hampir
sama dengan Sky Diving (Terjun Payung), jika terjadi problem dengan parasut
maka penerjun akan jatuh kebawah dan celaka, sedangkan pada aktifitas Scuba
Diving jika Dive Gear-nya bermasalah, maka kebanyakan orang yang panic akan
secepat mungkin berusaha naik keatas untuk mendapatkan oksigen, maka fatal
akibatnya karena terjadi dekompresi akibat perubahan tekanan udara pada
pembuluh darah yang begitu drastis. Sedikit menjelaskan bahwa volume gas
berbanding terbalik dengan tekanan udara, dan perbedaan tekanan udara 1 atm
menyebabkan perbedaan volume gas dua
kali lipat. Secara sederhana, Jika terjun payung celaka dibawah, maka menyelam
celaka diatas.
Tahun 2014, saya mulai kenal
Scuba Diving dari beberapa temen kantor yang punya minat sama. Kami mulai
belajar diving melalui Lembaga Sertifikasi Selam CMAS, dan akhirnya berlanjut
ke PADI. Proses belajar “slulup” ini ribet banget, mulai dari latihan di kolam renang
loncat Indah sampai bisa melayang seperti ikan “bouyancy”, belajar teori di
kelas terutama tentang safety, sampai terjun di laut bebas, ini menandakan
bahwa olah raga ini memang beresiko tinggi, sehingga untuk itu perlu
sertifikasi sampai dinyatakan laik “slulup”. Saat itu yang terlintas di kepala
saya mungkin hanya untuk gaya2an, karena yang banyak menggeluti olah raga ini
adalah para Bule. Perlu diketahui juga, kenapa banyak bule yang melakukan
aktifitas diving di Indonesia, yang pertama adalah di daerah mereka “sub tropis”,
suhu air lautnya dingin sekali sehingga kurang cocok untuk melakukan aktifitas scuba
diving, tidak seperti di daerah tropis seperti Indonesia yang suhunya hangat, dan
yang kedua adalah mata uang mereka jauh lebih kuat dibanding rupiah, sehingga
Scuba Diving yang bagi saya sangat mahal, tidak bagi mereka. Wal-hasil
Indonesia adalah surga diving bagi para bule, sementara kita sebagai tuan rumah
malah tidak mamapu menikmatinya, dan untuk tidak kalah sama bule itulah
salah satu alasan saya “nggleleng”.
2 bait diatas sebenarnya
tidaklah penting, karena yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana melatih
diri as a human being agar tidak mudah panic dalam menghadapi situasi yang
mendesak. Pada awal belajar selam, yang ketemu hanya happy aja, punya
pengalaman baru, ada sensasi yang berbeda menyelam dibawah laut, masuk di kapal
karam (wreck diving), menari-nari ditengah ribuan ikan dikedalaman laut, juga
ketemu langsung dengan ‘Nemo”, menyelam malam hari, dan masih banyak sensasi
hebat yang saya rasakan, disamping happy semua itu juga membuat diri “nggleleng”.
Semakin kesini ternyata ada dampak significant dari pengalaman menyelam
tersebut yang sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari, yaitu saya tidak
mudah panic, dalam kondisi terdesak saya selalu dapat mengaktifkan rasio/akal lebih
optimal sebelum mengambil aksi. Pernah saat menyeberang Ketapang-Gilimanuk,
arus laut berubah tiba2 sehingga kapal feri yang kami tumpangi sekeluarga oleng
luar biasa dan terapung-apung ditengah selat Bali selama 2 jam lebih tidak bisa
sandar, berkali-kali takbir terdengar jelas diteriakkan sebagian besar
penumpang yang menambah situasi semakin mencekam, bisa dibayangkan kepanikan
yang melanda mereka, alhamdulillah saya tetap bisa merasa tenang, karena kepala
saya seketika melakukan kalkulasi atas segala kemungkinan yang terjadi, alhamdulillah
akhirnya kapal yang kami tumpangi selamat berlabuh di Gilimanuk. Juga saat
kondisi pandemi corona sekarang ini, sejak awal tidak pernah terlintas dikepala
saya untuk memborong masker atau handsanitizer, bahkan menumpuk stock bahan
pangan, karena sekali lagi kepala ini sudah terlatih untuk berpikir rasional
dan tidak egois.
Saya juga sering melakukan
kegiatan bersepeda offroad sendirian di tengah hutan karet yang jarang ketemu
orang, dan sering pula kesasar jalan, namun selalu saja ada solusi atas “mis
direction” tersebut, karena I have been ready with GPS on hand. Kesimpulan
saya, pengalaman untuk mengambil resiko lebih, akan melatih kita untuk lebih
siap dalam menghadapi situasi yang mendesak, khususnya dalam melakukan
kalkulasi atas segala kemungkinan response yang dapat diambil. Tidak harus
menyelam ditengah laut, tidak harus melakukan terjun payung, tidak juga
bersepeda di tengah hutan sendirian, masih banyak aktifitas yang pas untuk diri
kita masing2 yang dapat melatih kesiapan response kita terhadap situasi yang
membuat kita terdesak. Jangan takut untuk sedikit mengambil resiko, karena in
the next future akan berguna. Resiko yang saya maksudkan bukan resiko bisnis,
karena I’m not an expert on that area.
0 comments:
Post a Comment