Sudah lama pingin kembali menghidupkan memori
masa SMA dengan kegiatan mendaki gunung (Hiking), baru kali ini terwujud. Sebetulnya
nggak sengaja juga hiking kali ini saya lakukan, dikarenakan temen2 gowes
banyak yang berhalangan untuk diajak ngalas, maka saya coba ajak mas Boiy untuk
hiking. Gayung bersambut, dengan ditemani satu lagi rekan yakni pak Dhe mBeng, pada
Sabtu 6 Juni 2020, pukul 05.10 kami bertiga berangkat menuju pos pendakian
Arjuna via Desa Tambaksari, sebenarnya kami berjudi dengan “peluang”, karena
banyak lokasi pendakian yang masih ditutup karena pandemi corona. Sesampainya di lokasi, ternyata benar adanya,
bahwa jalur pendakian via dusun Tambakwatu masih ditutup untuk para pendaki,
khususnya bagi yang berencana bermalam diatas, karena kami berencana naik
sampai candi Sepilar dan langsung kembali turun, maka masih mendapat toleransi
ijin pendakian.
Setelah parkir mobil di rumah warga, tepat
diujung pengkolan sebelum pintu masuk jalan paving pendakian, mulailah perjalanan
kami menuju POS#1. Pos pertama dikenal dengan sebutan Goa Antaboga yang
berjarak sekitar 1.750 meter, dengan medan bervariasi jalan tanah dan makadam,
yang dikiri kanannya adalah kebun kopi. Etape awal ini kami tempuh sekitar 30
menit. Di POS#1 ini terdapat fasilitas kamar mandi dan mushola, juga terdapat
tanaman pinus yang tertanam rapi di komplek Goa Antaboga, bagus untuk spot foto
dengan dramatisasi sinar matahari yang jatuh ketanah melalui sela2 dedaunan
pinus. Nama Antaboga adalah diambil dari tokoh pewayangan dengan karakter Ular
Naga, dan di sini diabadikan dengan Patung sepasang Ular Naga. Meski namanya
goa, namun ujudnya hanya lobang dengan kedalaman 1.5 meter dan lebar-tinggi
satu meter. Tempat ini dianggap sebagai tempat keramat yang banyak dikunjung
para peziarah yang melakukan tirakatan atau nyepi.
Legenda nama Arjuna adalah berasal dari tokoh
pewayangan, yaitu panengah Pandawa Raden Arjuna, yang konon bertapa di lereng gunung
tersebut. Arjuna adalah salah satu Gunung yang dipenuhi dengan situs
peninggalan purbakala Singasari dan Majapahit, karena pada saat itu banyak
tokoh Kerajaan Singasari dan Majapahit yang menganggap tempat tersebut adalah
tempat bertuah yang cocok digunakan untuk nyepi dan bertapa. Sehingga jangan
heran jika di sepanjang jalur pendakian tercium aroma wangi dupa, karena semua
pos peristirahatan adalah juga tempat keramat yang digunakan sebagai tempat
pemujaan. Belum lagi mitos mistis yang banyak berkembang di masyarakat yang menambah
aura sakral dari gunung Arjuna.
Kembali ke pendakian, berikutnya kami menuju
Pos Tampuono yang berjarak kurang dari 2 km dari Pos Antaboga. Disini terdapat
warung dan Punden untuk Pemujaan. Saat kami beristirahat disana, berbarengan
dengan kedatangan rombongan ibu yang sudah berumur, dengan 2 anak perempuannya
dan juga 2 cucunya, saat datang mereka langsung menuju punden pemujaan, setelah
beberapa saat melakukan sembahyangan, mereka keluar menuju sendang Dewi Kunthi yang
terletak di bawah komplek Tampuono, konon bagi yang mandi di sendang ini dapat
membuat awet muda dan merasakan ketenangan batin. Kami membutuhkan waktu kurang
lebih satu jam untuk sampai di Pos Tampuono dari Pos Antaboga, track pendakian
didominasi oleh jalan makadam yang di kanan kirinya kebun kopi rakyat.
Pos berikutnya adalah Situs Eyang Sakri,
terletak persis diatas Pos Tampuono, sedangkan pos setelahnya adalah Situs
Eyang Semar. Menuju situs Eyang Semar, jalur pendakian sudah memasuki hutan dan
banyak batu besar diselingi alang2 lebat yang tersusun tidak beraturan,
terkadang kita harus merangkak dan memanjat bongkahan batu2 tersebut untuk bisa
melewatinya. Dari Pos Tampuono berjarak kurang lebih 1.3 Km, namun karena
medannya yang cukup berat, kami membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk
mencapainya. Konon situs Eyang Semar ini adalah yang paling keramat, sampai2
disitu tertulis “Jangan Berisik”. Di tempat ini arealnya sempit, sehingga tidak
nyaman untuk beristirahat, jika terpaksa harus melepas penat, bisa di duduk di
bongkahan batu yang ada disitu.
Diatas situs Eyang Semar terdapat candi
Makutarama yang menempati areal lapang yang cukup luas. Terdapat tiang bendera
yang cukup tinggi dengan bendera merah putih yang berkibar cukup besar, bendera
ini nampak kecil dari kejauhan saat perjalanan menuju pos Tampuono. Sepanjang
yang saya saksikan, candi Makutarama adalah candi paling besar yang berada di
areal Gunung Arjuna. Nama2 situs di areal Gunung Arjuna sangat kental dengan
nama2 dalam cerita pewayangan, termasuk Makutarama. Wahyu Makutarawa adalah
ajaran Sri Bathara Kresna kepada Raden Arjuna, tentang Hastabrata. Makutarama
sendiri berasal dari kata Makuta = Mahkota dan Rama adalah Raja Ayodya yang
terkenal sebagai raja besar yang arif bijaksana, sedangkan ajaran Hastabrata
artinya adalah 8 ajaran suci, hasta =
delapan, brata = perilaku. Di Pos Makutarama ini terdapat fasilitas
peristitahatan yang cukup lengkap bagi pendaki, ada sumber air bersih, MCK,
Mushola, 2 bangunan barak yang berukuran kira2 6x8 meter, yang bisa digunakan
para pendaki untuk bermalam sebelum perjalanan menuju Puncak Arjuna (Puncak
Ogal Agil). Candi Makutarama berjarak sekitar 400 meter dari situs Eyang semar,
dengan track pendakian sangat menanjak melalui bongkahan batu besar, perlu
waktu kurang lebih 30 menit untuk mencapainya dari situs Eyang Semar. Oh..ya,
jangan lupa turun ke Sungai di arah barat daya Candi Makutarama, berjarak
kurang lebih 150 meter, dikenal dengan sebutan sendang Widodari, disebut sendang
mungkin karena banyak aliran air yang terperangkap, tertampung dalam cekungan
batu
yang sangat besar sehingga menyerupai bak mandi besar, sehingga bisa untuk
berendam, tempat ini bagus sekali untuk berfoto, apalagi jika kabut sedang
turun.
Selesai melepas penat, buka bekal, dan sholat
dhuhur, kami melanjutkan pendakian menuju Candi Sepilar yang berjarak sekitar
250 meter, mendekati area candi terdapat anak tangga yang diujungnya terdapat
arca Dwarapala. Agar mendapatkan experience yang berbeda, kami berencana menempuh jalan memutar untuk rute
turun pendakian, Candi Sepilar – Candi Wesi – Putuk Lesung – Tampuono dan
selanjutnya menuju Dusun Tambakwatu, meskipun tidak ada satupun dari kami yang
pernah melewati rute tersebut. Setelah menempuh jarak kurang lebih 500 meter,
dengan menerobos jalan setapak di bibir jurang yang lembahnya di sebelah kanan
kami, dengan vegetasi yang sangat rapat, tanda bahwa jarang dilewati, sampailah
kami di Candi Wesi yang kondisinya tidak terawat.
Perjalanan menuju Putuk Lesung adalah episode
yang paling serem bagi kami. Setelah putar2 Candi Wesi kami menemukan pintu masuk
jalan setapak kedalam hutan, dengan yakin kami ikuti jalan tersebut, setelah melewati jalan setapak yang cukup panjang di bibir
jurang yang lembah jurangnya masih disebelah kanan kami, dan tiba2 jalan
setapak tersebut lenyap tertutup semak yang sangat rimbun. Bertiga kami
berusaha menemukan jalan setapaknya, setelah beberapa saat, kami temukan jalan
setapaknya, belum sempat hati ini merasa tenang kami dihadapkan pada pilihan
jalan setapak yang bercabang, dengan insting kami yang terbiasa “blakrak-an” maka
kami ambil satu pilihan yang ternyata berujung di padang ilalang yng tingginya
hampir menyamai tinggi badan kami. Meskipun jalan setapaknya tak nampak
terhalang lebatnya ilalang, kaki kami masih bisa merasakan jalurnya. Dalam
menyusuri jalan setapak ditengah padang ilalang ini kami menemukan 3 situs yang
terletak tidak berjauhan, yang ternyata adalah
Candi Lepek, Candi Gong dan satu Candi lagi yang berupa tumpukan batu andesit layaknya situs purbakala, menurut warga setempat keberadaan ketiga candi tersebut susah ditemukan, meski untuk sekelas guide pendakian macam pak Wondo warga dusun Tambakwatu. Suasana hati was-was mulai menggelanyuti akalku, timbul penyesalan kenapa semalam tidak download off-line google maps, sedangkan ditengah hutan tidak tercover signal GSM. Kami teruskan menapaki jalan setapak di tengah ilalang yang berujung pada lembah yang tidak mungkin bisa kita lalui. Maka mulailah bayang2 berita buruk bermunculan, Hutan di Gunung Arjuna yang dikenal dengan “alas Lali Jiwa” sering menyesatkan para pendaki, jika benar2 tidak menemukan jalan balik dan harus bermalam di gunung tanpa persiapan yang cukup sangat mungkin terkena serangan Hypothermia. Tersesat seperti ini sudah sering kami alami saat gowes blakrak-an, sehingga pengalaman tersebut mampu membuat kami tetap bisa berpikir dengan baik. Saat di dusun Tambakwatu sekilas saya melihat tower radio, terlintas dalam pikiran saya tidak menutup kemungkinan ada antena BTS nempel diatasnya, maka saya coba nyalakan HP, dan benar saja signal GPS mengcover tempat saya berdiri, rasa khawatir langsung surut, mungkin hanya tersisa 10% nya saja. Dengan google maps acuan arah tujuan menuju Putuk Lesung menjadi jelas, belum lama rasa optimis menyembul, kami dihadapkan lagi pada fakta bahwa jalan setapak yang kami temui bukan menuju direction yang benar, namun malah menuju jurang, belum lagi kabut tebal datang dan pergi begitu cepat sehingga menutupi point of reference yang bisa kami jadikan acuan. Kami putuskan memotong jalan ditengah ilalang yang sangat rimbun, kontur tanah dibawah tak nampak oleh mata kami karena tertutup rimbunnya daun ilalang, akhirnya “grubyak” mas Boiy jatuh telentang terperosok ke dalam lubang dan kakinya terantuk batu. Dengan sedikit menahan sakit, kami lanjutkan perjalanan menerobos rimbunnya ilalang sampai menemukan jalan setapak yang cukup bagus menuju lembah, setelah kami susuri jalan setapak tersebut ternyata sampailah kami di Candi Putuk Lesung. Akhirnya sampailah
kami di Putuk Lesung, barulah terasa capek setelah menempuh jalan memutar yang cukup panjang dari sepilar menuju Putuk lesung yang berjarak kurang lebih 3 km dengan medan naik turun lembah. Tersadar, bahwa selama tersesat kami lupa untuk istirahat bahkan minum, dan speed jalan kita sangat cepat. Ternyata rasa was-was bisa meningkatkan potensi kita kalau kita bisa maintain dengan baik, inilah bukti bahwa otak manusia sangat mudah untuk dimanipulir oleh trigger dari luar.
Candi Lepek, Candi Gong dan satu Candi lagi yang berupa tumpukan batu andesit layaknya situs purbakala, menurut warga setempat keberadaan ketiga candi tersebut susah ditemukan, meski untuk sekelas guide pendakian macam pak Wondo warga dusun Tambakwatu. Suasana hati was-was mulai menggelanyuti akalku, timbul penyesalan kenapa semalam tidak download off-line google maps, sedangkan ditengah hutan tidak tercover signal GSM. Kami teruskan menapaki jalan setapak di tengah ilalang yang berujung pada lembah yang tidak mungkin bisa kita lalui. Maka mulailah bayang2 berita buruk bermunculan, Hutan di Gunung Arjuna yang dikenal dengan “alas Lali Jiwa” sering menyesatkan para pendaki, jika benar2 tidak menemukan jalan balik dan harus bermalam di gunung tanpa persiapan yang cukup sangat mungkin terkena serangan Hypothermia. Tersesat seperti ini sudah sering kami alami saat gowes blakrak-an, sehingga pengalaman tersebut mampu membuat kami tetap bisa berpikir dengan baik. Saat di dusun Tambakwatu sekilas saya melihat tower radio, terlintas dalam pikiran saya tidak menutup kemungkinan ada antena BTS nempel diatasnya, maka saya coba nyalakan HP, dan benar saja signal GPS mengcover tempat saya berdiri, rasa khawatir langsung surut, mungkin hanya tersisa 10% nya saja. Dengan google maps acuan arah tujuan menuju Putuk Lesung menjadi jelas, belum lama rasa optimis menyembul, kami dihadapkan lagi pada fakta bahwa jalan setapak yang kami temui bukan menuju direction yang benar, namun malah menuju jurang, belum lagi kabut tebal datang dan pergi begitu cepat sehingga menutupi point of reference yang bisa kami jadikan acuan. Kami putuskan memotong jalan ditengah ilalang yang sangat rimbun, kontur tanah dibawah tak nampak oleh mata kami karena tertutup rimbunnya daun ilalang, akhirnya “grubyak” mas Boiy jatuh telentang terperosok ke dalam lubang dan kakinya terantuk batu. Dengan sedikit menahan sakit, kami lanjutkan perjalanan menerobos rimbunnya ilalang sampai menemukan jalan setapak yang cukup bagus menuju lembah, setelah kami susuri jalan setapak tersebut ternyata sampailah kami di Candi Putuk Lesung. Akhirnya sampailah
kami di Putuk Lesung, barulah terasa capek setelah menempuh jalan memutar yang cukup panjang dari sepilar menuju Putuk lesung yang berjarak kurang lebih 3 km dengan medan naik turun lembah. Tersadar, bahwa selama tersesat kami lupa untuk istirahat bahkan minum, dan speed jalan kita sangat cepat. Ternyata rasa was-was bisa meningkatkan potensi kita kalau kita bisa maintain dengan baik, inilah bukti bahwa otak manusia sangat mudah untuk dimanipulir oleh trigger dari luar.
Setelah melepas penat sejenak di Putuk Lesung, kami lanjutkan perjalanan
pulang melalui POS2 Tampuono. Amazfit saya menunjukkan bahwa total waktu
perjalanan adalah 10 jam 26 menit, dengan jarak tempuh sepanjang 16.59 km, dengan
top peak di Candi Sepilar adalah 1.909 mdpl.
0 comments:
Post a Comment