Saturday, June 27, 2020

CYTREK COBAN KACA


Banyaknya pegunungan dan aliran sungai di wilayah malang raya, sebelah timur di wilayah Tumpang Area, di sebelah Barat Batu Area, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lumajang, menyebabkan banyaknya keberadaan air terjun, baik yang sudah dikelola sebagai obyek wisata maupun yang masih perawan. Petualangan saya bersama sobat blakrak-an kali ini adalah explorasi air terjun atau di Jawa Timur lebih dikenal dengan sebutan Coban. Pilihan kami adalah Coban Kaca yang terletak di Desa Oro-Oro Ombo, Dusun Dresel, lokasinya di sebelah utara Coban Rais (Coban Rais bukan Batu Flower Garden, karena biasanya orang menyebut area wisata Batu Flower Garden dengan sebutan Coban Rais). Coban Kaca belum dikomersialkan, karena aksesnya masih sangat sulit, meskipun jika dipaksakan, sepeda motorpun bisa, namun terlalu berbahaya, karena dibeberapa bagian jalannya sangat sempit dan rawan longsor, sementara jurang dibawahnya sangat dalam. Air terjunnya tidak begitu tinggi, menurut perkiraan saya tidak lebih 40 meter, debit airnya tidak besar, tapi meskipun begitu air terjunnya sangat indah karena jatuhnya air sungai tidak langsung kebawah, melainkan tertahan batu berundak sehingga airnya memercik dan jatuh kebawah dalam bentuk butiran2 kecil yang menjadikannya sangat elok, dan saat tertimpa matahari akan terlihat semakin indah.

Peserta blakrak-an kali ini pada Sabtu 27 Juni 2020 cukup banyak, kami berdelapan, peserta tetap saya Pak We, mas Boiy, Pak Dhe mBeng, pak Arifin yang mulai menikmati kumpul blakrak-an dengan kami bertiga, ditambah pak Fath, pak Hari, pak Anang dan mas Insan anggota termuda yang suka ditinggalin dibelakang sama Opa-Opa above fifty. Tikum kali ini di depan Gerbang Universitas Brawijaya yang selalu tertutup di ujung Jembatan SoeHat. Appointment pukul 06.00 ternyata molor hingga pukul 6.30. Dari UB, menyusuri jalan MT Haryono sampai Taman Rekreasi Sengkaling, kira2 1 km didepan, kami potong kompas masuk jalan Martorejo, setelah itu kami memilih lewat jalan Raya Junrejo yang lebih landai dibanding jalan Hasanudin, masuk Jalibar sampai ke Area Wisata Batu Flower Garden. Rute jalan asphalt tersebut kami lalui sepanjang 15.5 Km dengan tanjakan yang menguras banyak tenaga antara Junrejo – Dressel.

Akses ke coban Kaca kami mulai dari pintu masuk area wisata Batu Flower Garden, diatas area parkir, setelah habis jalan asphalt kami ambil jalan tanah menuju hutan yang banyak ditanami rumput Afrika yang disini dikenal dengan sebutan Kolonjono. Track tanah yang masih kontinue menanjak, istilahnya mas Boiy ketemu TANTE “Tanjakan Terus” dan gak pernah jumpa JANDA “Jalan Datar”. Pada etape ini kami lebih banyak TTS “Tuntun-Tuntun Sepeda” dari pada gowes, sampai akhirnya ada tanda “Motor Trail Dilarang Masuk”, kami ikuti jalan yang sudah dipaving selebar 30 cm sampai mendekati lokasi coban. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan warga kampung yang pulang dari kerja bakti membersihkan semak belukar di lokasi Coban dan sepanjang jalan menuju Coban, mungkin karena selama pandemi Corona ditutup dan akibat musim hujan vegetasi liarnya banyak menutup jalan, sehingga untuk kenyamanan pengunjung yang sudah mulai diperbolehkan masuk dibersihkanlah tanaman liar tersebut. Untuk mencapai Coban kami harus angkat2 sepeda menyeberangi sungai yang menampung aliran air dari coban Kaca. Di dekat banner “Selamat Datang di Wana Wisata Coban Kaca” terdapat coban anak dari coban Kaca, dan setelah kami naik lagi barulah jumpa Coban Kaca yang sebenarnya. Jarak dari Batu Flower Garden ke coban Kaca sebenarnya tidak lebih dari 4 km, namun tenaga kami sudah habis saat jumpa TANTE di track asphalt sepanjang 15.5 Km dari rumah menuju Batu Flower Garden, sehingga untuk menaklukkan track offroad yang pendek tersebut luar biasa capeknya.

Masing2 kami langsung memilih tempat duduknya sendiri2 di bongkahan batu besar yang tertata seperti kursi untuk meredakan lelah disekujur kaki yang sudah tak tertahankan. Pak Dhe mBeng dengan serta merta membuka thermos kopi, dan menyulut sebatang rokok, yang langsung diikuti oleh pak Anang dan Saya, sementara anggota termuda mas Insan langsung membuka bekalnya dan melahapnya dalam hitungan tidak sampai lima menit, terucap dari mulutnya “Saya capek dan lapar pak, sampai tangan saya ndhredheg”, sontak kami semua tertawa terbahak-bahak. Udara di ketinggian 1.200an mdpl sangat dingin, ditambah butiran air seperti embun yang terpercik dari air terjun terperangkap di cekungan di tempat kami menikmati coban, menjadikan udara semakin terasa dingin. Setelah masing2 dari kami menuntaskan bekalnya, maka dimulailah sesi pengambilan foto, meskipun old crack tak kalah heboh dengan ABG dalam hal bergaya “Pose” didepan camera HP, khususnya pak Fath.

Sebelum pulang, datang ide gila dari rajanya tukang blakrak-an “mas Boiy”, trekking ke atas bukit untuk mencari asal aliran air yang jatuh di Coban Kaca. Sepeda ditinggal di lokasi coban dan kami semua berdelapan naik ke bukit mencari asal aliran air coban Kaca. Sebenarnya kami tidak menemukan jalan setapak naik, namun dengan penuh percaya diri kami sibak semak2 lebat diantara pohon2 besar yang menghalangi jalan kami, pak Dhe mBeng berjalan di depan sebagai “sukarelawan” membelah semak belukar untuk menyediakan jalan bagi kami yang dibelakang. Karena saking lebatnya vegetasi membuat kami sangat susah untuk melewatinya, kondisi tersebut  membuat ciut nyali mas Insan dan pak Anang untuk meneruskan pendakian, wal hasil mereka balik kucing ke lokasi Coban, akhirnya hanya berenam yang “istiqomah” untuk terus naik. Setelah sekitar 20 menit babat alas tak menemukan jalan, kami putuskan untuk pindah arah melewati tanah gembur rawan longsor, dengan berpegangan pada batang semak belukar akhirnya kami dapat menemukan jalan setapak menuju puncak. Kami susuri jalan tersebut sampai di ketinggian 1.475 mdpl, dari titik ini nampak puncak Panderman sangat dekat, yang seolah2 setinggi kami berdiri (puncak Panderman di 2.045 mdpl). Akhirnya kami temukan aliran sungai-nya, ternyata memang hanya sungai kecil yang debit airnya tidak besar, dan dengan 2 kali lompatan kami sudah berada di seberang sungai. Kami ikuti terus jalan setapak sempit disisi tebing, sampai akhirnya kami lihat teman kami yang tinggal di coban nampak dari atas terlihat sangat kecil. Setelah kurang lebih satu jam kami sudah berada kembali di lokasi coban Kaca dimana teman kami menunggu, check amazfit saya tertera angka 4.5 km kami memutari bukit tersebut. Kali ini combining Cycling & Trekking yang tidak direncanakan, hanya karena keusilan MB saja yang menyebabkan CyTrek terjadi.

Rupanya pak Anang dan mas Insan sangat kedinginan di lokasi coban menunggu kami selama satu jam, waktu sudah menunjukkan pukul 13.24, sehingga cepat2 kami berkemas untuk melanjutkan perjalanan pulang. Karena arah pulang didominasi oleh track menurun, maka tidak sampai 15 menit kami sudah sampai di Batu Flower Garden. Kami menunaikan sholat Dhuhur di mushalla yang terletak di bawah Batu Flower Garden  berjarak sekitar 200 meter. Setelah sholat kami duduk2 di teras mushalla, nampak kota Malang terlihat jelas dari posisi kami duduk, bisa dibayangkan betapa indahnya pemandangan ini diwaktu malam hari. Jika saat berangkat average speed hanya 7 km/jam, maka saat pulang rata2 kecepatan kami bisa 12 km/jam bahkan top speed di jalibar dan tlekung mencapai 52 km/jam. Akhirnya kami berpisah di tikum pagi tadi, di depan gerbang Universitas Brawijaya diujung jembatan SoeHat, mas Insan dan saya belok ke kiri, sementera 6 rekans lainnya lurus melalui jalan Mayjend Panjaitan, berbarengan dengan adzan Ashar saya sampai di depan pagar  rumah Cengger Ayam Dalam.

Blakrak-an kali ini menempuh total jarak hampir 40 Km, dengan track offroad sepanjang  kurang lebih 8 km. Meski capek ini butuh waktu 2 hari recovery, yang pasti hepi, apalagi kali ini pesertanya cukup banyak, sehingga lebih meriah. Setiap aktifitas gowes kami, selalu direncanakan dengan tema yang berganti-ganti sehingga selalu saja ada pengalaman baru yang berbeda. Salah satu tips untuk gowes blakrak-an adalah semua anggotanya harus bisa menikmati susahnya menaklukan track dengan berbagai kondisi, alias “no complain under any circumstances”, karena bisa saja ketemu TANTE dan tak jumpa JANDA, bisa pula kesasar dan baliknya mendaki, atau melewati vegetasi lebat yang mana sepeda harus dipanggul, dan masih banyak lagi rintangan hutan yang menghadang. Finally, thanks to all  brothers yang join pada kesempatan kali ini, kita mainkan tema baru untuk gowes selanjutnya, see you soon.

Salam 2rodaMTB

Saturday, June 20, 2020

WISATA KAKI LANGIT DESA TAJI


Wisata Kaki Langit Desa Taji, Kecamatan Jabung Kabupaten Malang, mulai populer sejak tahun 2019. Desa wisata ini menjual nuansa pegunungan, dengan atraksi unggulannya adalah Kopi Taji Lereng Bromo, begitu mereka menyebutnya. Disana para pengunjung bisa menikmati sajian kopi dengan pilihan penyajian yang cukup bervariasi, disamping itu juga menyediakan edukasi kopi kepada para wisatawan. Di ketinggian 1.200 mdpl, kita bisa menyaksikan dengan jelas Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Kukusan, Gunung Plawangan, Gunung Tunggangan, yang mengitari desa Taji, bahkan Gunung Arjunapun nampak dari sana. Dari jalan raya Malang-Tumpang, untuk menuju desa Taji dapat di akses melalui pangkalan ojek “Kenongo” yang terletak di KM 14.1 dari pertigaan Blimbing (Masjid Sabilillah). Dalam perjalanan menuju desa Taji, banyak Coban (Air Terjun) yang dilewati, 2 yang paling favorit adalah coban Jahe dan coban Siuk, jarak tempuhnya kurang lebih 12 Km, dengan jalan yang sangat menanjak, dari posisi 580 mdpl menuju 1.200 mdpl, sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan pegunungan yang sangat elok.

Niat gowes kesana sebenarnya sudah ada sejak lama, namun karena bayang2 “slope gila” yang harus ditaklukkan, membuat maju-mundur untuk menjalaninya. Akhirnya datang tantangan dari mas Insan yang terus menerus ngajak gowes kesana, saya putuskan Sabtu tanggal 20 Juni 2020, kami taklukkan TAJI. Malang tak dapat ditolak, yang ngajak malah gak bisa jalan karena orderan project pasca Corona tidak mau ditunda lagi, akhirnya berlima Saya pak We, mas Boiy, pak Dhe mBeng, pak Arifin dan mas Fuad membulatkan tekad menaklukkan desa wisata Taji, Kecuali mas Fuad, semuanya old Crack manusia above fifty. Tikum Pangkalan Ojek Kenongo jam 06.30, karena berlima tinggal di arah yang berbeda2. Saya dan mas Fuad berangkat dari rumah jam 5.45 dengan harapan on time sampai tikum, ternyata over confidence, selang waktu 45 menit terlalu pendek untuk ukuran kekuatan otot kaki dan nafas kami, sebagai konskuensinya kami genjot pedhal sepeda sekuat tenaga dengan harapan on time sampai tikum, sehingga sangat menguras stamina kami, 17 km menanjak sepanjang jalan.

Setelah beristirahat sejenak, kami berangkat menuju Taji, sampai pertigaan ke Coban  jahe (± 6 km) track-nya relatif flat. Setelahnya, tanjakan gila berkali-kali harus kami taklukkan, dan beberapa kali kami harus berhenti sejenak untuk istirahat minum dan melemaskan otot, sampai akhirnya etape Coban Siuk bisa diselesaikan dengan lancar. Mas Boiy, pak Dhe mBeng dan pak Arifin, mekipun termasuk manusia almost sixty, selalu saja berada di depan saya dan mas Fuad, betul2 otot kawat balung wesi nafas ketel uap. Setelah menikmati indahnya coban Siuk dan pengambilan foto2 kenangan, kami lanjutkan etape kedua menuju Kopi Taji yang berjarak kurang lebih 1.2 Km. Jalannya masih sangat menanjak dan bertiga mereka masih juga didepan kami berdua, sampai akhirnya sampailah kami di salah satu kedai kopi yang ada disana.

Disana sudah banyak para pengunjung, baik yang bersepeda motor maupun tukang gowes yang memenuhi kedai kopi. Kamipun segera memesan kopi sebagai pembuktian apakah benar cita rasa kopi Taji memang sedap sesuai kabarnya. Saya dan mas Fuad Arabika V60, mas Boiy pesan Vietnam Drip dengan carnation, pak Dhe dan pak Arifin memesan es kopi susu (yang dua terakhir ilat-e ndesa...he3x). Karena lokasi tanamnya diatas 1.200 mdpl cita rasa kopi Taji menurut saya cukup khas meskipun tidak senikmat Arabika Gayo favorit saya, karena lumayan nikmat mas Fuad pesan 2 bungkus rosted whole bean @ 100gr, satu bungkus untuk saya. Menikmati kopi + sebatang rokok (saya dan pak Dhe mBeng), sambil buka bekal nasi dari rumah sungguh nikmat yang tiada tara, kalaupun tidak bawa bekal, bisa pesan makanan di warung yang tidak jauh dari kedai kopi. Ngobrol diantara kami, juga dengan sesama peng-gowes, foto2 di spot yang sudah disediakan, adalah hiburan murah, menyehatkan dan paling penting membahagiakan.

Setelah puas kami beristirahat, mulailah cerita horornya. Rupaya mas Boiy tidak ingin mengambil rute balik dijalan yang sama, yang jelas2 menurun sepanjang jalan sampai rumah, namun mencoba mengambil rute lain, memutari bukit Plawangan, tembus jalan raya Pakis-Nongkojajar (Kemiri). Kami ikuti saja maunya Dia, awalnya jalan menurun dengan pemandangan dikiri kanan perkebunan yang sangat elok, sampai berhenti di tempat datar untuk berfoto sejenak, sembari foto mata kami menatap jalan meliuk-liuk di lembah jauh dibawah kami. Alamaak, bisa dibayangkan setelah turun tersebut pasti naiknya nggak ketulungan. Benar saja kami terpaksa harus melewati jalan makadam menanjak yang cukup terjal, malang bagi pak Dhe mBeng, rotor sepeda tregores kanvas rem sehingga menimbulkan suara berisik, setelah kami check ternyata kanvas rem-nya sudah sangat-sangat tipis, ditambah minyak remnya juga berkurang sehingga fungsi hidrolisnya tidak normal, yang mengakibatkan piston tidak bisa kembali dengan sempurna. Setelah “diakali” akhirnya rem bisa berfungsi kembali. Tanjakan ini berakhir di lokasi wisata desa Bukit Plawangan, yang baru saja dibuka seminggu yang lalu. Wisata ini menyajikan keindahan batu-batu besar diatas bukit, dengan pemandangan pegunungan disekelilingnya, hanya saja diperlukan usaha yang relatif berat untuk mencapainya, mendaki lebih dari satu jam. Karena kondisi physical kami sudah terkuras dan masih harus menyelesaikan etape terakhir menuju malang lewat kemiri yang masih harus menempuh jarak lebih dari 30 km, dan juga harus mengejar sholat dhuhur, akhirnya saya putuskan untuk tidak naik ke bukit Plawangan.

Setelah istirahat sholat dhuhur di Masjid Sunan Muria, dusun Manggungan, desa Blarang, kami lanjutkan perjalanan, masih terus menurun jalannya, di kiri kami nampak bukit Plawangan dengan batu2 besar menonjol yang menjadi daya tariknya terlihat sangat elok dari kejauhan, akhirnya sampailah kami di jalan raya Pakis-Nongkojajar (± 150 meter sebelum kantor Desa Tlogosari Kecamatan Tutur Pasuruan). Dari titik ini sampai tikungan maut jalan raya Pakis-Nongkojajar masih berjarak kurang lebih 1.9 Km, jalan hotmixed menanjak. Rupanya jalan raya Pakis-Nongkojajar di ruas Pemkab Pasuruan sudah diperbaiki dengan hotmixed sangat bagus dan lebar (kurang lebih sudah setengah tahun pembangunannya), sementara di ruas Pemkab Malang kondisinya masih memprihatinkan. Disini stamina kami benar2 terkuras, sampai2 sepeda harus kami tuntun menjelang sampai di tikungan maut. Kami beristirahta sejenak di sini di pinggir hutan pinus yang sejuk.

Selepas tikungan maut tersebut, jalan menuju rumah relatif terus menurun sampai Kecamatan Jabung, turunannya sangat curam, disini speed sepeda mencapi maximum 57 km/jam, rem benar2 harus prima. Kami berpisah dengan rombongan di traffic light pintu masuk TOL Pakis, rombongan mas Boiy belok kiri menuju Sawojajar, sedangkan saya dan mas Fuad lurus ke arah Blimbing. Untuk mengejar target jam 16.00 sampai rumah, kami genjot pedal sepeda tiada henti dengan sisa2 tenaga, akhirnya sampai didepan pagar rumah pukul 16.10.

Total waktu bersepeda yang kami jalani adalah 10 Jam, menempuh jarak 67 Km menjelajahi 3 wilayah kerja Pemda Tingkat II, yakni Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Pasuruan, dengan top Peak 1.325 mdpl di jalan masuk wisata bukit Plawangan, jantung dipacu rata2 125 bpm. Extreeme Excercise, extraordinary Experience, as a result very delighted. Meskipun capek, walaupun susah, yang begini nggak bakal bikin kapok. Minggu depan kami jadwalkan ke coban Kaca, temen blakarak-an yang pada kesempatan kali ini tidak bisa gabung, pak Hari, pak Anang, mas Insan, ditunggu partisipasinya minggu depan.

Demikian sahabat gowes, sharing rute blakarak-an kali ini, semoga bisa menjadi referensi gowes bagi yang belum pernah.

Salam 2rodaMTB

Saturday, June 13, 2020

BUKIT JABAL MALANG


Bukit JABAL masih terasa asing di telinga kita, tidak seperti Gunung Panderman yang sangat dikenal dikalangan pecinta alam khususnya di wilayah Malang Raya, yang cocok untuk aktivitas trekking ringan pada ketinggian 2.000an mdpl. Anak2 muda asli Malang pun saya yakin banyak yang belum kenal bukit Jabal, apalagi tahu dimana tempatnya.


Check google maps, lokasinya persis disebelah barat P-WEC (Petung Sewu). Sabtu kemarin 130620, berlima gowes untuk survey titik start trekking bukit Jabal. Karena rumah kami terpisah arah, di daerah Blimbing, Sawojajar dan Sukun maka meeting point disepakati di depan Kantor Desa Kalisongo. Janjian kumpul pukul 7.00, ternyata 6.30 sudah nyampe tikum, ternyata otot kaki saya lebih kuat dari perkiraan saya sendiri. Setelah rombongan Sukun datang, berangkatlah kami menuju P-WEC, tujuan kami sebenarnya adalah bertanya kepada penduduk dusun Sumberbendo. Singkat cerita titik start trekking dapat kami identifikasi, maka kami putar haluan gowes back Home, namun karena waktu masih menunjukkan pukul 08.10, kami berhenti di rumah paling atas. Setelah basa basi sejenak dengan pemilik rumah, kami utarakan maksud kami untuk nitip sepeda sementara kami trekking keatas, ibu yang baik hati itu mempersilahkan untuk meninggalkan sepeda kami di pekarangan rumahnya.

Jika Triathlon atau yang paling popular saat ini dengan jarak IRONMAN (Ultra Distance), menggabungkan swim-cycling-run, maka kali ini kami menggabungkan antara cycling-trekking. Dari rumah terakhir kami menitipkan sepeda, mengurut jalan makadam sepanjang 700m sampai ke jalan paving menuju ke track pendakian, kemudian dilanjut dengan menyusuri perkebunan warga yang ditanami jeruk yang diselang-seling oleh tanaman cabe, sampai kami menemukan jalan bekas sungai, kami susuri jalan tersebut sampai ada percabangan, ambil yang kekanan sampai ketemu kali dengan bongkahan batu-batu besar yang bisa menjadi pijakan kaki saat menyeberang. Etape berikutnya dilanjut dengan jalan yang cukup lapang di sela-sela hutan pinus, saat menemukan percabangan jalan, ambil yang lurus sampai menemukan tanda arah pendakian ke Gunung Malang/ Bukit Jabal warna hijau yang di tempel di Pohon Pinus. Kita ikuti jalan naik tersebut sampai ketemu tanda penunjuk arah Gunung Malang tertempel di pohon pinus yang cukup kecil, kita ikuti saja arahnya.

Dimulailah pendakian ke Bukit Jabal, melalui jalan setapak diantara semak belukar yang ranting dan daunnya tertangkup antara sisi kiri-kanan. Sepanjang jalan adalah tanah liat yang jika musin hujan pasti sangat licin, di bawahnya tertanam jalur pipa untuk mengalirkan air bersih dari puncak bukit Jabal menuju perkampungan penduduk. Jalur pendakian sampai puncak sangat monoton, kita tidak bisa melihat pemandangan diatas karena tertutup rerimbunan daun, sehingga seolah-olah kami berjalan di lorong yang sangat panjang. Meskipun ketinggian bukit jabal hanya 1.470 mdpl, namun sangat melelahkan, berkali-kali kami harus berhenti untuk menata nafas dan mengistirahatkan otot kaki, hal ini disebabkan karena jarak pendakian yang relatif pendek, sehingga slope yang terbentuk lumayan menyiksa, dan menjadi tantangan tersendiri bagi kami yang sudah above fifty. Akhirnya, satu persatu dari kami sampai di TOP PEAK Bukit JABAL.

Beruntung kami, saat tiba di puncak sekitar pukul 11.00, kondisi udara cerah, clear tidak berkabut, sehingga nampak pemandangan yang menakjubkan. Arah Pandang ke utara nampak kota Batu dengan titik2 putih bangunan yang menjadi accessories-nya, jauh dibelakangnya nampak Gunung Arjuna berdiri kokoh menjulang tinggi yang puncak biru-nya menyembul diantara sekumpulan awan, pandangan kita geser sedikit ke barat, akan nampak Gunung Panderman, kemudian kami alihkan pandangan kami menuju arah timur, nampak Kota Malang dengan gedung2-nya, jauh dibelakangnya nampak puncak Semeru menjulang tinggi diatas awan. View dari puncak bukit Jabal sangat elok dan menakjubkan, belum lagi jika disaksikan pada pagi hari, tentunya lebih indah.

Bagi yang pingin nge-camp, tempat lapang di puncak tidak terlalu luas, perkiraan saya tidak lebih dari 25 tenda yang bisa didirikan, dan jika tidak kebagian tempat bisa meratakan semak2 di jalur pendakian di bawah puncak. Saya melihat terdapat pipa saluran air yang sengaja dilubangi untuk pengambilan air bersih dengan menggunakan selang plastik yang di taruh di pokok pohon didekatnya, sehingga bagi para camper tidak perlu khawatir akan ketersediaan air bersih. Karena tempat ini masih alami, tidak tersedia MCK. Begitulah bukit Jabal sebagai alternatif pendakian ringan atau camping selain Gunung Panderman yang berada di sekitar Malang Raya.

Kami memerlukan waktu sekitar 2.5 jam perjalanan mendaki, dan 1.5 jam perjalanan arah sebaliknya. Sedangkan untuk mencapai titik start pendakian, kami gowes pergi-pulang sepanjang 30 Km. Cukup asyik juga menggabungkan Outdoor Activity Cycling and Trekking dalam satu kesempatan, sobat Natur Lover boleh mencoba dan rasakan sensasinya.

Terima kasih pak Fa, pak Ivan, pak Dhe Bambang, dan pak Edy yang telah menemani saya blakrak-an, untuk selalu mencoba dan menemukan rute baru gowes maupun trekking.

Sunday, June 7, 2020

PENDAKIAN GUNUNG ARJUNA

Sudah lama pingin kembali menghidupkan memori masa SMA dengan kegiatan mendaki gunung (Hiking), baru kali ini terwujud. Sebetulnya nggak sengaja juga hiking kali ini saya lakukan, dikarenakan temen2 gowes banyak yang berhalangan untuk diajak ngalas, maka saya coba ajak mas Boiy untuk hiking. Gayung bersambut, dengan ditemani satu lagi rekan yakni pak Dhe mBeng, pada Sabtu 6 Juni 2020, pukul 05.10 kami bertiga berangkat menuju pos pendakian Arjuna via Desa Tambaksari, sebenarnya kami berjudi dengan “peluang”, karena banyak lokasi pendakian yang masih ditutup karena pandemi corona. Sesampainya di lokasi, ternyata benar adanya, bahwa jalur pendakian via dusun Tambakwatu masih ditutup untuk para pendaki, khususnya bagi yang berencana bermalam diatas, karena kami berencana naik sampai candi Sepilar dan langsung kembali turun, maka masih mendapat toleransi ijin pendakian.

Setelah parkir mobil di rumah warga, tepat diujung pengkolan sebelum pintu masuk jalan paving pendakian, mulailah perjalanan kami menuju POS#1. Pos pertama dikenal dengan sebutan Goa Antaboga yang berjarak sekitar 1.750 meter, dengan medan bervariasi jalan tanah dan makadam, yang dikiri kanannya adalah kebun kopi. Etape awal ini kami tempuh sekitar 30 menit. Di POS#1 ini terdapat fasilitas kamar mandi dan mushola, juga terdapat tanaman pinus yang tertanam rapi di komplek Goa Antaboga, bagus untuk spot foto dengan dramatisasi sinar matahari yang jatuh ketanah melalui sela2 dedaunan pinus. Nama Antaboga adalah diambil dari tokoh pewayangan dengan karakter Ular Naga, dan di sini diabadikan dengan Patung sepasang Ular Naga. Meski namanya goa, namun ujudnya hanya lobang dengan kedalaman 1.5 meter dan lebar-tinggi satu meter. Tempat ini dianggap sebagai tempat keramat yang banyak dikunjung para peziarah yang melakukan tirakatan atau nyepi.

Legenda nama Arjuna adalah berasal dari tokoh pewayangan, yaitu panengah Pandawa Raden Arjuna, yang konon bertapa di lereng gunung tersebut. Arjuna adalah salah satu Gunung yang dipenuhi dengan situs peninggalan purbakala Singasari dan Majapahit, karena pada saat itu banyak tokoh Kerajaan Singasari dan Majapahit yang menganggap tempat tersebut adalah tempat bertuah yang cocok digunakan untuk nyepi dan bertapa. Sehingga jangan heran jika di sepanjang jalur pendakian tercium aroma wangi dupa, karena semua pos peristirahatan adalah juga tempat keramat yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Belum lagi mitos mistis yang banyak berkembang di masyarakat yang menambah aura sakral dari gunung Arjuna.

Kembali ke pendakian, berikutnya kami menuju Pos Tampuono yang berjarak kurang dari 2 km dari Pos Antaboga. Disini terdapat warung dan Punden untuk Pemujaan. Saat kami beristirahat disana, berbarengan dengan kedatangan rombongan ibu yang sudah berumur, dengan 2 anak perempuannya dan juga 2 cucunya, saat datang mereka langsung menuju punden pemujaan, setelah beberapa saat melakukan sembahyangan, mereka keluar menuju sendang Dewi Kunthi yang terletak di bawah komplek Tampuono, konon bagi yang mandi di sendang ini dapat membuat awet muda dan merasakan ketenangan batin. Kami membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di Pos Tampuono dari Pos Antaboga, track pendakian didominasi oleh jalan makadam yang di kanan kirinya kebun kopi rakyat.

Pos berikutnya adalah Situs Eyang Sakri, terletak persis diatas Pos Tampuono, sedangkan pos setelahnya adalah Situs Eyang Semar. Menuju situs Eyang Semar, jalur pendakian sudah memasuki hutan dan banyak batu besar diselingi alang2 lebat yang tersusun tidak beraturan, terkadang kita harus merangkak dan memanjat bongkahan batu2 tersebut untuk bisa melewatinya. Dari Pos Tampuono berjarak kurang lebih 1.3 Km, namun karena medannya yang cukup berat, kami membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk mencapainya. Konon situs Eyang Semar ini adalah yang paling keramat, sampai2 disitu tertulis “Jangan Berisik”. Di tempat ini arealnya sempit, sehingga tidak nyaman untuk beristirahat, jika terpaksa harus melepas penat, bisa di duduk di bongkahan batu yang ada disitu.

Diatas situs Eyang Semar terdapat candi Makutarama yang menempati areal lapang yang cukup luas. Terdapat tiang bendera yang cukup tinggi dengan bendera merah putih yang berkibar cukup besar, bendera ini nampak kecil dari kejauhan saat perjalanan menuju pos Tampuono. Sepanjang yang saya saksikan, candi Makutarama adalah candi paling besar yang berada di areal Gunung Arjuna. Nama2 situs di areal Gunung Arjuna sangat kental dengan nama2 dalam cerita pewayangan, termasuk Makutarama. Wahyu Makutarawa adalah ajaran Sri Bathara Kresna kepada Raden Arjuna, tentang Hastabrata. Makutarama sendiri berasal dari kata Makuta = Mahkota dan Rama adalah Raja Ayodya yang terkenal sebagai raja besar yang arif bijaksana, sedangkan ajaran Hastabrata artinya adalah 8 ajaran suci, hasta =  delapan, brata = perilaku. Di Pos Makutarama ini terdapat fasilitas peristitahatan yang cukup lengkap bagi pendaki, ada sumber air bersih, MCK, Mushola, 2 bangunan barak yang berukuran kira2 6x8 meter, yang bisa digunakan para pendaki untuk bermalam sebelum perjalanan menuju Puncak Arjuna (Puncak Ogal Agil). Candi Makutarama berjarak sekitar 400 meter dari situs Eyang semar, dengan track pendakian sangat menanjak melalui bongkahan batu besar, perlu waktu kurang lebih 30 menit untuk mencapainya dari situs Eyang Semar. Oh..ya, jangan lupa turun ke Sungai di arah barat daya Candi Makutarama, berjarak kurang lebih 150 meter, dikenal dengan sebutan sendang Widodari, disebut sendang mungkin karena banyak aliran air yang terperangkap, tertampung dalam cekungan batu
yang sangat besar sehingga menyerupai bak mandi besar, sehingga bisa untuk berendam, tempat ini bagus sekali untuk berfoto, apalagi jika kabut sedang turun.

Selesai melepas penat, buka bekal, dan sholat dhuhur, kami melanjutkan pendakian menuju Candi Sepilar yang berjarak sekitar 250 meter, mendekati area candi terdapat anak tangga yang diujungnya terdapat arca Dwarapala. Agar mendapatkan experience yang berbeda, kami berencana menempuh jalan memutar untuk rute turun pendakian, Candi Sepilar – Candi Wesi – Putuk Lesung – Tampuono dan selanjutnya menuju Dusun Tambakwatu, meskipun tidak ada satupun dari kami yang pernah melewati rute tersebut. Setelah menempuh jarak kurang lebih 500 meter, dengan menerobos jalan setapak di bibir jurang yang lembahnya di sebelah kanan kami, dengan vegetasi yang sangat rapat, tanda bahwa jarang dilewati, sampailah kami di Candi Wesi yang kondisinya tidak terawat.

Perjalanan menuju Putuk Lesung adalah episode yang paling serem bagi kami. Setelah putar2 Candi Wesi kami menemukan pintu masuk jalan setapak kedalam hutan, dengan yakin kami ikuti jalan tersebut, setelah melewati  jalan setapak yang cukup panjang di bibir jurang yang lembah jurangnya masih disebelah kanan kami, dan tiba2 jalan setapak tersebut lenyap tertutup semak yang sangat rimbun. Bertiga kami berusaha menemukan jalan setapaknya, setelah beberapa saat, kami temukan jalan setapaknya, belum sempat hati ini merasa tenang kami dihadapkan pada pilihan jalan setapak yang bercabang, dengan insting kami yang terbiasa “blakrak-an” maka kami ambil satu pilihan yang ternyata berujung di padang ilalang yng tingginya hampir menyamai tinggi badan kami. Meskipun jalan setapaknya tak nampak terhalang lebatnya ilalang, kaki kami masih bisa merasakan jalurnya. Dalam menyusuri jalan setapak ditengah padang ilalang ini kami menemukan 3 situs yang terletak tidak berjauhan, yang ternyata adalah











Candi Lepek, Candi Gong dan satu Candi lagi yang berupa tumpukan batu andesit layaknya situs purbakala, menurut warga setempat keberadaan ketiga candi tersebut susah ditemukan, meski untuk sekelas guide pendakian macam pak Wondo warga dusun Tambakwatu. Suasana hati was-was mulai menggelanyuti akalku, timbul penyesalan kenapa semalam tidak download off-line google maps, sedangkan ditengah hutan tidak tercover signal GSM. Kami teruskan menapaki jalan setapak di tengah ilalang yang berujung pada lembah yang tidak mungkin bisa kita lalui. Maka mulailah bayang2 berita buruk bermunculan, Hutan di Gunung Arjuna yang dikenal dengan “alas Lali Jiwa” sering menyesatkan para pendaki, jika benar2 tidak menemukan jalan balik dan harus bermalam di gunung tanpa persiapan yang cukup sangat mungkin terkena serangan Hypothermia. Tersesat seperti ini sudah sering kami alami saat gowes blakrak-an, sehingga pengalaman tersebut mampu membuat kami tetap bisa berpikir dengan baik. Saat di dusun Tambakwatu sekilas saya melihat tower radio, terlintas dalam pikiran saya tidak menutup kemungkinan ada antena BTS nempel diatasnya, maka saya coba nyalakan HP, dan benar saja signal GPS mengcover tempat saya berdiri, rasa khawatir langsung surut, mungkin hanya tersisa 10% nya saja. Dengan google maps acuan arah tujuan menuju Putuk Lesung menjadi jelas, belum lama rasa optimis menyembul, kami dihadapkan lagi pada fakta bahwa jalan setapak yang kami temui bukan menuju direction yang benar, namun malah menuju jurang, belum lagi kabut tebal datang dan pergi begitu cepat sehingga menutupi point of reference yang bisa kami jadikan acuan. Kami putuskan memotong jalan ditengah ilalang yang sangat rimbun, kontur tanah dibawah tak nampak oleh mata kami karena tertutup rimbunnya daun ilalang, akhirnya “grubyak” mas Boiy jatuh telentang terperosok ke dalam lubang dan kakinya terantuk batu. Dengan sedikit menahan sakit, kami lanjutkan perjalanan menerobos rimbunnya ilalang sampai menemukan jalan setapak yang cukup bagus menuju lembah, setelah kami susuri jalan setapak tersebut ternyata sampailah kami di Candi Putuk Lesung. Akhirnya sampailah 


kami di Putuk Lesung, barulah terasa capek setelah menempuh jalan memutar yang cukup panjang dari sepilar menuju Putuk lesung yang berjarak kurang lebih 3 km dengan medan naik turun lembah. Tersadar, bahwa selama tersesat kami lupa untuk istirahat bahkan minum, dan speed jalan kita sangat cepat. Ternyata rasa was-was bisa meningkatkan potensi kita kalau kita bisa maintain dengan baik, inilah bukti bahwa otak manusia sangat mudah untuk dimanipulir oleh trigger dari luar.

Setelah melepas penat sejenak di Putuk Lesung, kami lanjutkan perjalanan pulang melalui POS2 Tampuono. Amazfit saya menunjukkan bahwa total waktu perjalanan adalah 10 jam 26 menit, dengan jarak tempuh sepanjang 16.59 km, dengan top peak di Candi Sepilar adalah 1.909 mdpl.
resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut