Saturday, July 25, 2020

GOWES COBAN PITU PUJON


Di Malang Raya terdapat area wisata air terjun yang diberi nama Coban pitu, atau Sumber Pitu, atau Coban Sumber Pitu, atau Coban Gerojogan Pitu, begitulah orang menyebutnya, jadi jangan bingung. Sobat juga jangan sampai salah dengan yang dimaksud Coban Pitu tersebut, karena terdapat di dua tempat di Kabupaten Malang, satu diujung barat yaitu di desa Pujon Kidul Kecamatan Pujon, yang satunya lagi diujung timur yakni di desa Duwet Krajan Kecamatan Tumpang. Keduanya sama-sama eksotik, memiliki pesonanya masing-masing.

Kali ini petualangan team Blakrak-an adalah explorasi Coban Pitu yang berada di Pujon. Pada gowes kali ini lumayan rame, Sawojajar Area menyumbang 4 peserta, dari Sukun dan Wagir ada 4 peserta, serta Cengger Ayam Grup 3 peserta, sehingga totalnya 11 peserta. Kami menggunakan 2 Loading Pickup sampai Kantor Telkom Batu, meskipun awalnya start direncanakan dari Patung Sapi Pujon, dan karena menurut pak Hari terlalu cemen kalau start diatas, maka gowes diputuskan diawali dari Kantor Telkom Jalan Diponegoro Kota Batu.

Menyisir jalan raya Batu-Pujon dengan sepeda MTB ternyata lumayan mengasyikkan, dan juga tidak terlalu berat, kenapa saya katakan ini, karena jalur ini biasanya dilibas oleh sobat goweser dengan sepedah RB. Rute ini sangat cocok untuk melatih endurance kita, karena rute sepanjang 7.6 Km berakhir di patung sapi Pujon, dengan elevation gain 308 m, naik secara bertahap dan smooth. Saya melahapnya dalam waktu kurang lebih 35 menit, sementara Pak Dhe jauh di depan saya, mungkin dia hanya butuh sekitar 30 menit untuk menuntaskan etape pertama ini. Dan seperti biasanya anggota termuda kami mas Insan, keteran di belakang, meskipun begitu dengan semboyan “alon-alon asal kelakon” sampai juga dia di Patung Sapi ditemani Pak Edy Arifin.

Istirahat sejenak di patung Sapi, sambil ngobrol dengan beberapa sahabat goweser RB yang kami temui juga sedang beristirahat disana. Setelah hampir 20 menit kami beristirahat, Etape ke-2 dilanjutkan ke arah Desa Wisata Coban Kidul, setelah menempuh jarak 2.6 Km, tepatnya di depan Masjid An – Nur, kami belok kiri menuju lokasi Coban Pitu. Sampai disini jalan masih sangat bagus, asphalt dan beton cor halus, kemudian setelah melewati perkampungan terakhir, barulah kami jumpai jalan makadam yang terus menanjak, meskipun tanjakannya cukup landai namun konsisten menanjak tanpa turunan sama sekali, yang dikenal dengan istilah ketemu TANTE (Tanjakan Terus). Menapak jalan makadam menanjak sangat menguras tenaga, karena roda terjebak diantara batu makadam, kemudian untuk memutarnya butuh sentakan agar melompati batu yang menjebaknya, sentakan-sentakan kecil yang konsisten dan terus menerus tersebut cepat menyedot habis energy kami. Etape-2 ini berakhir di parkiran motor Coban Pitu, dimana gowes sejak dari patung Sapi sampai disini menempuh jarak 6.4 Km.

Etape-3 dimulai dari Parkiran Motor sampai Coban Pitu, track ini sebetulnya adalah jalur TREKKING bukan untuk gowes, namun karena kami sebelumnya belum pernah kesini, maka dengan PD-nya sepeda terus kami gowes. Benar saja, setelah kurang lebih 50 meter kami lalui, tak satupun dari kami sanggup mengayuh pedal sepeda, dikarenakan jalurnya adalah tanah yang “nge-Rel” (bekas roda motor) ditambah debu dan tanjakannya terjal. Akhirnya dengan sangat terpaksa, sepanjang kurang lebih 1.8 Km kami TTS (Tuntun-Tuntun Sepeda) sampai titik sebelum turun ke coban. Dan karena jalur turun ke Coban sangat curam, maka sepeda kami tinggal diatas, dan kami turun dengan membawa ransel dan botol minum saja.

Setelah kami melewati turunan jalan tanah berundak, akhirnya kami disambut oleh air terjun yang cukup deras dengan background tebing batu padas yang sangat bagus, .....woo sudah sampai di Coban Pitu pikir saya, eh ternyata itu adalah Coban Siji (1), dan setelah saya persis berada didepan Coban Siji, kami putar badan...nun jauh diatas ada tebing tinggi yang dirambati dedaunan yang menghijau lebat dengan tujuh air terjun kecil yang menghiasi terlihat sangat indah, itulah ternyata Coban Pitu.

Tak perlu menunggu lagi, saya dan mas Boiy langsung naik menuju atas tanpa menghiraukan keberadaan Coban Siji yang sebetulnya juga sangat bagus, karena tujuan utama kami adalah menyaksikan Coban Pitu. Alamak....untuk sampai di Coban Pitu, kami harus mendaki anak tangga tanah berundak yang sangat terjal yg tak terhitung jumlahnya, berkali-kali kami harus berhenti untuk ambil nafas setelah melalui beberapa anak tangga, karena saking terjal dan tingginya. Akhirnya kami bisa berada sangat dekat dengan air terjun Coban Pitu, namun sayangnya tempat yang tersedia untuk menikmati air terjun ini sangat sempit, dan cenderung basah karena jaraknya yang terlalu dekat dengan jatuhnya air. Setelah beberapa jepret-an foto, saya segera turun menuju Coban Siji lagi. Karena turunan yang sangat curam, sebaiknya sobat menfaatkan tali yg telah dipasang sepanjang jalur turunan, untuk menjaga keseimbangan badan dan bisa sebagai pengaman apabila terpeleset. Akhirnya saya bersama rekan2 yang lain beristirahat di saung yang terletak di sebelah barat Coban Siji, sambil menikmati bekal makanan yang kami bawa dari rumah dan menunaikan sholat Dhuhur di tempat yang sudah tersedia di shelter tersebut. Saat kami disini, ada 2 kelompok pengunjung yang jumlah totalnya kalau saya gak salah ingat sebanyak 8 orang. Hampir dua jam kami berada di lokasi coban, untuk menikmati indahnya coban dan suasana alam dengan gemercik air terjun yang sangat eksotis.

Perjalanan pulang kami lalui pada jalur yang sama, dimana saat berangkat sepeda dituntun karena otot kaki tidak mampu melahap tanjakan, saat pulangpun dibeberapa bagian jalan, sepeda kami tuntun karena turunannya yang sangat tajam, “naik gak kuat turun takut”, ......capek deh. Saran saya bagi pengunjung Coban Pitu, baik gowes atau naik sepeda motor, sebaiknya manfaatkan lokasi parkir, dari sini kita bisa trekking ke lokasi Coban, hal ini saya kira lebih nyaman dari pada tuntun-tuntun sepeda di jalan menanjak dengan kondisi badan yang sudah letih.

Terakhir, saya sampaikan terima kasih untuk kebersamaannya kepada sahabat-sahabat saya, pak Hari, pak Anang, pak Dhe, mas Boiy, pak Edy, mas Insan, mas Fuad, dan 3 rekan yang baru pertama kali blakrak-an bersama saya mas Iwan, mas Angga dan pak guru Kris. Jangan kapok gabung bersama kami, meski gaya blakrak-an kami agak bonek dan tak kenal waktu.

Sampai jumpa pada explorasi rute gowes berikutnya.

Salam 2rodaMTB

Saturday, July 18, 2020

PENDAKIAN GUNUNG ANJASMORO VIA CANGAR


Gunung Anjasmoro kurang begitu populer bagi para pecinta alam, tidak seperti Arjuna – Welirang – Penanggungan, meskipun letaknya berdekatan. Keberadaannya menduduki 3 wilayah daerah tingkat II, yakni Kota Batu – Kabupaten Jombang – Kabupaten Mojokerto. Akses pendakian utama adalah dari Wonosalam Jombang, atau ada juga yang menyebut pendakian via Carangwulung, di jalur pendakian ini rutenya sudah tertata rapi dengan beberapa POS interval dan petunjuk arah yang cukup jelas. Target puncak yang dituju melalui rute ini adalah Puncak Cemorosewu dengan ketinggian 2.282 mdpl. Sementara jalur alternatif lainnya adalah dari Cangar Batu, namun jarang ada pendaki yang melalui jalur ini, sehingga sulit menemukan BLOG atau VLOG tentang pendakian Anjasmoro via Cangar bagi yang ingin melihat review-nya sebelum melakukan pendakian, termasuk saya sendiri yang tidak menemukan referensi yang informatif sebagai bekal pendakian di jalur ini. Puncak Anjasmoro dari jalur ini lebih pendek dibanding puncak Cemorosewu, yakni di ketinggian 2.258 mdpl. Sebenarnya banyak puncak-puncak tersembunyi di Gunung Anjasmoro ini yang belum terjamah para pendaki, karena puncaknya seperti tusuk gigi. Tidak seperti Penanggungan, Arjuna, Welirang, Semeru yang puncaknya gersang berbatu, di puncak Anjasmoro ini masih tertutup hutan yang cukup rimbun, sehingga tidak panas terik dan nyaman untuk duduk bersantai berlama-lama.

Karena tidak ada yang mengulas secara jelas jalur pendakian via Cangar, maka seolah2 menjual  tantangan kepada kami yang wajib untuk dibayar cash. Tidak gowes tidak pula trekking, menemukan rute baru  atau paling tidak melalui rute yang belum dikenal banyak orang selalu menjadi magnet atau daya tarik yang luar biasa bagi kami. Akhirnya rencana menaklukkan Gunung Anjasmoro rute Cangar mengalahkan planning kami sebelumnya untuk summit Gunung Bekel dengan jalur melingkar.

Start pendakian dimulai dari bekas pabrik Jamur, di KM 18 jalan Raya Batu – Pacet. Memasuki komplek bekas pabrik jamur tersebut lurus saja sampai menemukan bangunan Villa Pabrik Jamur yang sepertinya sudah tidak pernah dipergunakan dalam waktu cukup lama, kemudian belok kanan kita temukan tempat lapang yang dasarnya terbuat dari semen, lurus saja kemudian belok kanan melalui jalan setapak kecil menuju semak2 (jangan ambil yang lurus). Mengikuti jalan setapak yang cukup lebar dan nyaman untuk berjalan, namun sayangnya kami terhalang pohon tumbang yang telah dipotong2 sehingga menutup jalan setapak kami. Cukup lama kami berhenti disini untuk mencari jalan setapak yang hilang. Perlu sobat pendaki ketahui bahwa semak belukar di jalur pendakian ini sangat lebat, dan menutup jalan setapak sehingga tak nampak oleh mata kita. Karena jalan setapak tidak kami temukan, maka parang yang sudah kami persiapkan dari rumah segera saja berfungsi. Pak Dhe mBeng, sebagai pembuka jalan dengan sigap mengepras setiap semak yang menghalangi jalan kami, terutama tanaman berduri yang kami menyebutnya “rendhet”. Pak Dhe terus mengepras semak belukar yang menghalangi kami sampai jalan setapak kembali kami temukan.

Meskipun jalan setapak sudah kami temukan, namun parang di tangan pak Dhe tidak berhenti untuk terus mengepras semak belukar yang menjadi penghalang jalan kami, sementara saya dan MB mengikuti dari belakang. Akibatnya perjalanan kami menjadi sangat lambat, namun sisi baiknya adalah kami tidak terlalu lelah, meskipun jalur pendakian ini kemiringannya luar biasa, menurut perkiraan saya sekitar 60 derajad. Di beberapa titik rute pendakian, kami temukan pita penanda jalur dari tali rafia yang sudah usang, dan beberapa pita plastik kuning-hitam. Kurang lebih 30 menit sejak menemukan jalan setapak yang hilang, kami kembali kehilangan jejaknya, sempat salah arah meskipun tidak begitu jauh, dan setelah melakukan observasi beberapa saat akhirnya kami temukan jalan setapak menuju atas. Tips bagi sobat pendaki, jika tiba2 kehilangan jalan, sebaiknya explore kesegala penjuru arah mata angin sejauh kira-kira 20 meter untuk menemukan kembali jalan setapak yang menghilang sepenggal. Akhirnya sampailah kami di ketinggian 2.150 mdpl, depan kami adalah jurang yang sangat terjal, kami menyebutnya puncak bayangan dari sisi Cangar.

Babak ketiga rute yang kami jalani adalah rute paling nyaman, trekking menyisir punggung gunung yang dikiri dan kanannya jurang terjal yang sangat dalam, sehingga tidak ada lagi tanjakan terjal dengan kemiringan extreme seperti dibawah. Sepanjang jalur ini kami melewati 3 tempat datar yang bisa dijadikan tempat nge-camp yang lumayan terlindung dari hembusan angin dibanding berkemah di puncak. Rute menyisir punggung Gunung Anjasmoro ini sepanjang kurang lebih 1 Km, diselingi turun lembah kecil 3 kali. Dan akhirnya pada pukul 12.50 sampailah kami di puncak Gunung Anjasmoro rute Cangar, setelah menempuh jarak kurang lebih 4 km, selama 4.5 jam. Tuntas sudah penaklukan Gunung Anjasmoro rute Cangar, yang menurut peta topografi yang berhiaskan garis hachures dari Aplikasi ViewRanger, puncaknya berada di ketinggian 2.254 mdpl.

Sayangnya kabut sangat tebal menyelimuti puncak Anjasmoro, yang muncul sejak kami sampai di ketinggian 2.100 mdpl, sehingga tak nampak gugusan gunung dan bukit yang jika cerah terlihat sangat indah. Namun begitu tetap saja kami merasa senang, berada di ketinggian dan tak ada orang lain selain kami bertiga. Setelah makan, ngopi, dan sholat, kami bersantai cukup lama, sekitar 2 jam menikmati hidup sejenak diatas awan. Akhirnya kami turun pukul 14.54.


Perjalanan turun pastinya akan sangat sulit, mengingat dibanyak lereng, kemiringannya sangat terjal. Kami lalui track yang sama dengan saat pendakian, sampai pada tanda pita terakhir yang kami jumpai, jalan setapak terus menurun, kira-kira 30 meter setelahnya tidak lagi kami temukan jalannya. Hari sudah menunjukkan pukul 16.30, dengan bantuan maps sebetulnya kami bisa memperkirakan arah dengan tepat, dan jarak ke titik start  awal pendakian juga sudah tidak terlalu jauh, ditandai dengan suara kenalpot sepeda motor di jalan sekitar pabrik jamur terdengar sangat jelas, namun tidak ada jalan setapak melainkan kearah jurang.  Cukup lama kami melakukan observasi di titik ini, naik turun pada jalur yang sama sampai 2x yang cukup melelahkan, sampai waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Akhirnya kami putuskan untuk menerobos semak belukar pohon paitan, dengan bantuan tongkat yang dibawa MB dan parangnya Pak Dhe, kami terus maju pantang mundur menerobos rerimbunan semak belukar. Alhamdulillah, setelah kira-kira 30 menit kami menemukan jalan setapak  yang kami lalui saat awal pendakian, perasaan lega langsung menyembul di dada kami. Kira-kira 300 meter dari titik start pendakian terdengar suara Adzan Magrib, dan setelah beberapa saat dari berakhirnya adzan Magrib sampailah kami dititk start pendakian.

Untuk pendakian lewat jalur ini, sangat disarankan menggunakan sepatu trekking, bukan sekedar sneakers, karena kemiringan track pendakian yang sangat terjal sehingga saat turun akan sangat sulit bagi siapa saja jika tidak memakai sepatu yang punya grip baik, seperti halnya yang dialami Pak Dhe, saat pendakian masih aman2 saja, namun ketika perjalanan pulang di track menurun tajam, lebih dari 15 kali jatuh terduduk karena terpeleset tanah yang licin atau dedaunan basah. Jika ingin berlama-lama di puncak, saya anjurkan untuk membawa jaket, karena udara dingin dipuncak akan membuat kita menggigil saat duduk2 berdiam diri tidak melakukan gerakan, alih-alih bersantai menikmati suasana puncak, kita malah sangat tidak nyaman karena kedinginan. Dan karena didalam hutan udara sangat lembab, membuat semak-semak selalu basah, jangan memakai celana dari bahan kanvas yang tebal, karena sulit kering saat terkena dedaunan basah, sebaiknya gunakan celana trekking quick dry. Bawa alat navigasi, karena meskipun jalur pendakian pendek seringkali kita kehilangan track pendakian karena lebatnya vegetasi hutan, atau paling mudah dan aman didampingi guide pendakian.

Semoga sekilas tulisan ini bisa menjadi pedoman yang cukup bermanfaat bagi sobat pendaki. Sampai jumpai di jalur pendakian yang lain.

Akhirnya salam 3angleTOP

Saturday, July 4, 2020

PENDAKIAN GUNUNG PENANGGUNGAN


Buka-buka info pendakian di suatu laman, ternyata Gunung Penangggungan sudah dibuka, untuk tahap uji coba pembukaan dilakukan di jalur “KEDUNGUDI”, sementara yang lain masih ditutup. Segera info tersebut saya sampaikan ke rekan MB, karena sebenarnya kami sudah lama merencanakan pendakian Gunung Penanggungan melalui jalur Jolotundo. Singkat cerita, bertiga kami sepakat pendakian dilakukan pada Sabtu 4 Juni 2020.

Kami berangkat dari Malang persis pada pukul 05.00, menuju desa Kedungudi kecamatan Trawas. Meskipun jalanan dari Prigen ke Trawas lebih susah, karena meliuk-liuk naik turun dengan derajad kemiringan yang lumayan extreme, kami pilih jalur ini dari pada lewat Ngoro Industri yang meskipun lebih nyaman tapi selisih jaraknya mencapai 15 Km. Kurang lebih pukul 6.10 kami sudah sampai di Desa Kedungudi, mobil kami titipkan di salah satu rumah penduduk, khawatir diatas tidak ada penjaga parkir, karena kami belum sepenuhnya yakin bahwa rute pendakian ini sudah dibuka. Dari tempat parkir, kami harus berjalan menuju Pos Perijinan Pendakian sepanjang 500 m , dan ternyata sudah banyak sepeda motor yang terparkir disitu, menurut informasi penjaga Pos Perijinan, jalur Kedungudi sudah dibuka sejak hari Sabtu seminggu sebelumnya.

Setelah melapor dan membayar karcis 10rb rupiah per orang, dan melakukan stretching, hiking Mount Penanggungan via jalur Kedungudi kami lakukan tepat pukul 06.37. Perlu diketahui bahwa Jalur Kedungudi ini terletak antara Jalur Tamiajeng dan Jalur Jolotundo. Pemandangan selama pendakian sangat bagus, disebelah kiri nampak Gunung Bekel berdiri kokoh dengan lerengnya nampak sangat terjal, sementara disebelah kanan Arjuna dan Welirang berdiri bersebelahan nampak sangat jelas, dengan Gunung Welirang berada lebih dekat ke arah Penanggungan. Seperti halnya jalur Jolotundo, sepanjang pendakian rute Kedungudi ini akan dijumpai banyak candi dengan urut-urutan Candi Carik – Candi Lurah – Candi Syiwa – Candi Guru – Candi Whisnu,  diatas candi Whisnu ada Goa Butol sebagai point of refference terakhir sebelum menuju puncak Pawitra. Bagi yang nge-camp saya sarankan mendirikan kemah di candi-candi tersebut, karena halaman candi cukup nyaman untuk beristirahat dan lebih terlindung dari angin karena setiap candi tersebut selalu memunggungi bukit, dari pada bermalam di puncak. Selama perjalanan di ketinggian kami disuguhi pemandangan luar biasa, di sebelah kanan kami di arah tenggara titik2 perumahan, guest house, hotel di Prigen & Trawas bagai kotak2 kecil yang berserakan, disebelah kiri arah Utara agak ke Barat Laut Luas Areal Ngoro Industri dengan atap2 pabrik yang besar terlihat sangat jelas, Jauh mata memandang arah Timur Laut nampak samar2 Pond Lumpur Lapindo menggenangi areal yang sangat luas, bisa kita bayangkan ribuan orang yang terusir dari desa kelahirannya karena suatu hal yang tidak mereka inginkan dan mungkin mereka kutuk sepanjang hidupnya, dari Selatan ke Utara dan kearah Timur garis jalan Tol Malang – Surabaya & Gempol – Probolinggo nampak dengan jelas, sementara di kiri kami Gunung Bekel dengan setia mengiringi pendakian kami dan di kanan kami Arjuna Welirang memandangi kami yang sedang terengah-engah sambil mengusap peluh, dan sesekali meneguk air minum untuk menawar dahaga kami bertiga, di kejauhan arah tenggara Puncak Mahameru malu2 menyembul dari kerumunan awan. Sangat beruntung kami hari ini, karena cuaca sangat cerah yang tidak memberikan kesempatan kabut untuk turun menghalangi pandangan kami untuk menikmati pahatan gusti Allah dan karya manusia yang nampak lebih elok di ketinggian. Phase terakhir pendakian kami dari Goa Butol adalah phase tersulit karena medannya sangat terjal, baik saat naik maupun turun menyusahkan kami bertiga, disini trekking pole sangat membantu. Akhirnya sampailah kami di Puncak Pawitra, setelah melalui periode
waktu sepanjang 4 jam 5 menit.

Diatas ternyata sudah ada 8 anak muda yang berkumpul, kami saling menyapa dan berbincang2, dari mereka ternyata ada 3 kelompok, yang kelompok besar berjumlah 6 orang berasal dari Surabaya & Blitar, mereka naik melalui jalur Kedungudi sama seperti kami, sementara dua sisanya rupanya naik ke Pawitra sendiri2 dari jalur Kunjorowesi. Setelah mereka semua turun, kami bertiga masih betah sesaat berada diatas untuk menikmati pemandangan yang luar biasa ini. Setelah puas take picture, kami segera turun melalui jalur yang sama. Sejak perjalanan pendakian seringkali suara music dari HP mas Boiy yang di amplify ke BT Speaker tiba-tiba mati tak tahu sebabnya, dan saat turunpun mengalami hal yang sama, tepat di lokasi candi Guru tiba2 suara music mati, dan beberapa langkah kemudian hidup kembali, akhirnya saya minta mas Boiy untuk balik ke candi lagi, dan benar saja suara music kembali mati, dan kemudian setelah beberapa langkah maju kembali hidup. Rupanya geomagnetic field yang terlalu besar di lokasi candi Guru menyebabkan RF 2.4 GHz yang digunakan wireless data communication Bluetooth terganggu. Saya coba ukur besaran medan magnet bumi dibeberapa lokasi batu andesit yang besar bisa mencapai lebih dari 100 µT, sementara medan geomagnetic normal berkisar antara 25 – 65 microTesla (µT). Di areal Arjuna dan Penanggungan  banyak lokasi2 yang memiliki medan geomagnetic jauh diatas normal, sehingga jangan heran jika kadang2 kompas tidak menunjukkan arah yang presisi, karena geomagnetic field ini dipergunakan sebagai acuan dalam ber-navigasi, tidak hanya oleh manusia namun juga hewan seperti halnya burung dan kura2 saat melakukan migrasi. Dalam perjalanan turun, kami beristirahat makan siang di Candi Lurah, sekitar satu jam kami habiskan waktu disini. Saat kami masih beristirahat menikmati sejuknya udara gunung, datang 3 remaja dengan terengah-engah, kemudian duduk istirahat bersama kami, alhamdulillah kami sama2 beruntung, bahwa bekal makan dan minum kami yang masih tersisa kami berikan kepada mereka, sementara kami turun dengan beban yang lebih ringan.

Semakin kami ke bawah semakin banyak jumpa dengan rombongan anak muda yang naik ke puncak Penanggungan, dalam hitungan saya lebih dari 200 orang, mereka datang dari berbagai kota di Jawa Timur. Rupanya berita pembukaan jalur Kedungudi ini sudah banyak didengar oleh para pecinta alam, dan segera saja mereka mengobati kerinduannya kepada alam setelah kurang lebih 4 bulan lockdown semua jalur pendakian sejak pandemi Corona muncul. Akhirnya kami sampai di pos perijinan pendakian setelah melalui periode waktu selama kurang lebih 3 jam 20 menit, termasuk istirahat selama lebih kurang satu jam di Candi Lurah. Setelah melaporkan kedatangan, kami menuju Masjid desa Kedungudi untuk membersihkan diri dan menunaikan sholat, setelah beristirahat sejenak, akhirnya kami meneruskan perjalanan pulang ke Malang.

Resume pendakian Tek-Tok Puncak Pawitra via Kedungudi, pendakian membutuhkan waktu 4 jam 5 menit, sementara perjalanan turun membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam 30 menit. Panjang jalur pendakian hanya sekitar 4 Km, namun dengan kemiringan yang cukup berat, start dari 660 mdpl menuju ke 1.653 mdpl, yang kalau dihitung pakai rumus arcsinus maka akan ketemu kemiringan rata2 sebesar 14.5 derajad. Pemandangan selama pendakian bagus. Track pendakian relatif aman, karena jalurnya rapi berundak tanah, akar pohon maupun batu, tidak seperti jalur Tamiajeng yang banyak kerikil yang bisa berjatuhan saat diinjak. Petunjuk arah sangat jelas, dijamin aman bagi pemula. Demikian Sobat Alam yang dapat kami share dan semoga bermanfaat.

Akhirnya salam 3angleTOP

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut