Manusia
pada dasarnya memiliki bibit egois dalam dirinya, yang dalam interaksi sosial
dapat mengancam keutuhan kelompoknya dalam skala kecil maupun besar. Seperti
teory yang disampaikan The Godfather-nya Psychoanalyst, Sigmund Freud, bahwa dalam
struktur kepribadiannya terdapat 3 unsur, yaitu Id, Superego dan Ego. Id adalah keinginan paling liar yang dimiliki setiap individu,
seperti makan, minum, sex, dll, sedangkan Superego adalah norma di luar
diri-nya, sementara Ego adalah unsur yang bersifat memutuskan, apakah kita
lebih memilih Id atau Superego. Ketika seseorang
lebih memilih id-nya tanpa mempertimbangkan superego, maka dia akan menjadi
manusia yg menghalalkan segala cara demi memenuhi keinginannya. Frued mengenalkan
istilah Idish untuk manusia seperti ini, atau kita lebih mengenalnya
sebagai egois.
Saat bapak bangsa kita, yaitu pendiri Negara ini berikrar
untuk membentuk NKRI, ego dalam diri beliau-beliau mampu menyeimbangkan antara
id dengan superego, sehingga dalam menetapkan tujuan (meraih keinginan dan kebutuhan)
selalu mempertimbangkan kepentingan bersama seluruh bangsa Indonesia, bukan
sekelompak orang saja atau seorang Soekarno atau seorang Hatta semata.
Karenanya bangsa ini dikenal dengan jiwa “Gotong Royong-nya”, hal ini karena adanya keseimbangan Id dan Superego.
Dalam perkembangan dunia modern, yang cenderung selalu berkompetisi untuk
menjadi yang “TER”, maka keseimbangan antara Id dan Superego mulai bergeser
kearah Id dan lebih extreeme lagi bahwa superego sudah tidak tersisa lagi. Hal ini
terjadi hampir disemua bangsa di dunia dalam seluruh strata sosial, dengan
level yang berbeda, yang cenderung meningkat dari strata primitif/tradisional
ke modern.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia, dahulu secara
de facto pemilik negara ini adalah Ir. Soekarno, bung Hatta, orang-orang yang
terlibat dalam pendirian NKRI, dan bahkan mungkin seluruh rakyat Indonesia
waktu itu yang hatinya tidak rela jika Negara ini hancur, bahkan mereka rela
berkorban harta dan nyawa untuk menjaga keutuhan negara ini. Namun di era
demokrasi modern saat ini, saya belum menemukan sosok seperti bapak bangsa yang
dapat dianggap sebagai pemilik negara ini. Sehingga praktik2 yang berpotensi
menuju kehancuran bangsa dan negara ini bisa kita saksikan terjadi silih
berganti. Dulu ada kasus impor garam dari India yang digudangkan di pulau
Madura, sehingga saat didistribusikan ke pasar, menjadi seolah-olah produk
lokal masyarakat Madura, sementara akibatnya stock garam melimpah, harga turun,
rakyat lokal menjerit, sayangnya jeritannya sayup-sayup hampir-hampir tidak terdengar.
Yang paling uptodate adalah kasus BULOG, sementara Kabulog menyatakan stock
beras melimpah, namun impor beras jalan terus, siapa yang dirugikan ?, selalu
rakyat kecil yaitu para petani, siapa yang diuntungkan ?, selalu para “******”.
Contoh lain dari makin banyaknya kumpulan para Idish adalah saat-saat sekarang,
menjelang pilpres 2019, HOAKS beterbangan di seluruh sosmed, saling serang,
saling fitnah yang bertujuan sama untuk tampil menjadi pemenang dengan cara
apapun. Mungkin tidak secuilpun terbersit pikiran untuk mengalah demi kepentingan
bangsa yang lebih besar, yang ada adalah saling sikut antara saudara sedarah,
seiman, sesuku, sebangsa dan setanah
air, “jika kau tidak sama denganku, kau adalah musuhku”. Id sudah sedemikian
dominan terhadap superego. Kondisi ini berbahaya!!!.
Sekarang kita mencoba melihat scope yang lebih sempit dalam skala
korporasi. Sebagai contoh BUMN yang dipimpin oleh seorang direktur, secara keterikatan
antara insitusi dan personal (BUMN – Direktur) tidaklah kuat sekali, artinya
Apabila perusahaan colapse dia mungkin tidak akan berbuat sesuatu yang sampai
mengorbankan seluruh potensi pribadinya, karena mungkin dia dengan mudah
mencari pekerjaan lain, dan yang lebih penting masih punya banyak materi.
Kondisi kohesivitas yang rendah ini ditambah banyaknya para Idish dalam
struktur organisasi, semakin mempercepat kehancuran. Membeli membership golf yang
harganya ratusan juta dengan uang perusahaan mungkin jamak terjadi (kecuali ada
aturan yang legalkan itu), bahkan mungkin stick golf pribadi-nya juga dibeli
dari biaya operasional perusahaan, melakukan perjalanan dinas dengan anggaran
perusahaan, namun ticket pesawat dan biaya hotel dibayar oleh dayang2nya dengan
menggunakan anggaran entah dari mana, menyisihkan sebagian anggaran operasional
setiap bulannya untuk dipakai rekreasi keluar negri bersama unitnya saat akhir
tahun, terlalu sering makan siang di resto mahal baik sendiri atau dengan staff
dengan memanfaatkan anggaran operasional perusahaan. Kemudian bicara ke skala
yang lebih strategic, sangat mungkin terjadi kong kalikong dengan mitra untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, memanipulasi kinerja perusahaan demi prestasi
semu individu/unit yang dampaknya sangat merugikan perusahaan in the long term.
Hal-hal demikian sangat mungkin dilakukan karena tidak ada konskuensi material
kepada individu, “hancur-hancurlah perusahaan, yang penting diriku sudah dapat
banyak”.
Kohesivitas yang tinggi antara pimpinan Institusi dengan Institusi yang dipimpin akan berdampak
pada langgengnya keutuhan Organisasi, hal dapat dibuktikan pada management
perusahaan swasta. Pada korporasi swasta, owner adalah pimpinan tertinggi dan
mempunyai kekuasaan absolut atas perusahaan. Dalam situasi ini, tak seorangpun
dengan leluasa melakukan tindakan-tindakan buruk yang mungkin terjadi pada
korporasi BUMN, karena dapat dipastikan owner akan memberikan sangsi dalam
skala peringatan sampai pemecatan bahkan diperkarakan hukum. Sehingga semua
kegiatan perusahaan seiring selangkah menuju keuntungan dan kelanggengan
perusahaan. Owner dengan segala upayanya mengerahkan bahkan mengorbankan seluruh
potensinya untuk kemajuan perusahaan. Tidak ada kinerja semu, tidak ada
penyelewengan anggaran, dan jika terjadi sangsi berat siap menanti.
Jadi sangat jelas bahwa kohesivitas yang tinggi antara pimpinan dan organisasi
yang dipimpinnya akan berpengaruh pada sukses yang sutainable atas
organisasi/institusi. kohesivitas yang tinggi itu bisa hadir dengan hadirnya
pemilik atau sosok yang berjiwa pemilik. Saya masih terus bermimpi dan terus bermimpi,
suatu saat hadir sosok pemimpin bangsaku yang berjiwa owner, siap mengorbankan
segala miliknya untuk kepentingan bangsa dan negara, yang mampu mengatur egonya
agar seimbang antara id dan superego, yang mampu menularkan kebaikan kepada
seluruh rakyat Indonesia. Dan jika belum mampu menghadirkan prosperity bagi
rakyatnya, paling tidak mampu membuat kebijakan publik yang adil, jika mungkin
lebih menguntungkan rakyat kecil. Di Indonesia barang apa yang belum ada?, merk
apa yang tidak ada?, hampir semua barang yang dibelahan bumi kaya sana ada,
disini juga ada. Ponsel Vertue yang harganya tidak masuk akal-pun punya outlet
di Jakarta, mobil sport italia yang harganya setara pesawat terbangpun sudah
jamak kita saksikan bersliweran di jalanan Indonesia, khususnya Jakarta,
barang-barang fashion yang harganya 10x rumah type 45 banyak dipakai dan ditenteng
ibu-ibu pejabat dan artis-artis karbitan, “beginilah kalau inginku sudah jauh melebihi
butuhku”. Seandainya pemerintah
membuat kebijakan, mobil yang masuk Indonesia adalah merk A dan B saja,
impor bahan pangan dilarang jika kebutuhan dalam negri dapat dicukupi oleh
petani lokal, barang-barang mewah dikenakan pajak yang sangat mahal, ohhh alangkan
indahnya Indonesiaku. Sehingga rakyat tidak didorong menjadi konsumtif, petani
terlindungi dari system perdagangan liberal yang kejam, rakyat kecil
mendapatkan jaminan sosial yang memadai. Tapi sampai kapan kita berharap…karena
nafsu serakah itu secara masive sudah ditularkan oleh para senior ke yunior-nya,
atau ide konyol dalam kepala saya segera kita wujudkan, “kita potong leher manusia 25
tahun keatas”, dengan harapan yang tersisa adalah generasi baru yang
belum terkontaminasi oleh nafsu keserakahan, Wallahu Alam….
malang, nov 14 2018