Wednesday, September 23, 2020

CYTREK KEDUNG DARMO BANTUR

Mungkin banyak yang belum familiar dengan “KEDUNG DARMO”, meskipun warga kota Malang sekalipun, karena memang tempatnya nun jauh di Kecamatan Bantur Kabupaten Malang, dan juga akses ke lokasi kedung (waduk kecil) perlu effort lebih. Jika sobat alam googling, maka akan nampak foto yang sangat indah, dengan kolam ditengah2 sungai yang bertingkat tingkat dengan air mengalir bak air terjun meskipun hanya pendek saja, kurang dari 3 meter. Kedung Darmo adalah tampungan pertemuan aliran 2 sungai di desa Srigonco. Saat musim kemarau air dalam kedung sangat jernih, sebaliknya saat musim hujan menjadi keruh karena pengaruh derasnya aliran air. Kita bisa berenang di Kedung dengan nyaman karena airnya yang jernih, ditambah pahatan alam batu cadas diseklilingnya yang menanjubkan.

Dimusim pandemi ini banyak tempat wisata alam yang ditutup untuk sementara waktu karena harus menjalankan protocol kesehatan, social distancing yakni tidak boleh membuat/menimbulkan kerumunan masa dalam jumlah besar, juga mencegah orang asing memasuki wilayah tertentu karena bisa jadi adalah carrier yang dapat menyebarkan virus di daerah tertentu. Karena situasi tersebut, kami berempat saya pakWe, mas Insan, pak Anang dan pak Hariadi, mencoba melakukan eksplorasi asal aliran sungai yang terperangkap di Kedung Darmo, yang secara protocol kesehatan aman.

Dari Malang kami berangkat sekitar pukul 06.15 menuju Pagak, karena kami sudah merencanakan lebih memilih rute kampung pedesaan,kebun tebu dan persawahan daripada harus lewat jalan raya bersaing dengan kendaraan yang bermesin “motor bakar”, disamping keuntungan mendapatkan udara segar tanpa polusi dan pemandangan indah sepanjang perjalanan juga aman dari resiko disambar kendaran berkecepatan tinggi. Kami tiba di kantor Telkom Pagak sebagai titik start kurang lebih pukul 7.45. Perjalanan menuju bantur menempuh jarak sekitar 14 Km, ditambah 4 Km menuju rumah penduduk terakhir sebelum kami menyusuri sungai. Sepanjang perjalanan rute ini terdiri dari separuh makadam dan sisanya jalan aspal halus, melalui kampung perumahan penduduk, kebun tebu dan persawahan seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, kontur jalannya naik turun, meskipun secara overall jika di observasi melalui  google maps nampak jalannya menurun. Dengan stamina yang masih fit, kami dapat melibas rute ini dengan lancar dan tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di desa Bantur, waktu yang kami butuhkan kurang lebih 35 menit saja, baru setelahnya diperlukan waktu yang agak panjang menuju desa Srigonco, karena harus melakukan explorasi untuk menemukan titik dimana kami bisa turun ke sungai. Dari SMPN 1 Bantur kami terus saja menyusuri jalan Raya Bantur arah Donomulyo, ketika sampai di pertigaan arah Pantai Balekambang atau Pantai Ngliyep ambil jalan yang kearah Pantai Balekambang, dari pertigaan tersebut kurang lebih 600 m belok kiri, ikuti jalan tersebut sampai melewati jalan cor beton kurang lebih 1 Km sampai ketemu rumah terakhir. Kami menitipkan sepeda di rumah  tersebut, selanjutnya blakrak-an dilanjut dengan trekking membelah semak belukar diantara pohon-pohon sengon yang tertanam di perengan menuju dasar sungai (entah sungai apa namanya kami tak tahu persis, namun orang sekitarnya menyebut sungai Gading), sampai akhirnya kami mencapai sungai dibawah. Badan sungai cukup lebar namun airnya tidak banyak, dasar sungainya adalah batu-batu padas yang bentuknya tidak beraturan dengan beberapa cekungan yang dapat menjebak aliran air dan mejadikannya kolam2 kecil yang bening airnya, kondisi seperti ini membuat pemandangan nampak sangat elok, karena kita jarang menjumpainya. Kami terus menyusuri sungai menuju kebawah lokasi Kedung Darmo, yang terkadang harus bersusah panyah untuk melewati kolam air yang menempati seluruh badan sungai sehingga tidak menyisakan batu pijakan untuk kami melewatinya tanpa harus berbasah-basah, namun dengan bantuan bambu panjang yang banyak tergeletak disekitar sungai kami dapat juga melewatinya meskipun dengan resiko terjatuh kedalam kolam cekungan sungai yang dalamnya mencapai 3 meter tersebut, dan benar saja salah satu dari kami, yakni pak Anang terpeleset dan jatuh kedalam kolam sehingga seluruh pakaian dan backpack-nya basah kuyup, beruntung pak Anang mampu segera naik dengan cepat keatas, sehingga HP dalam kantongnya masih terselamatkan dan berfungsi normal. Sepanjang menyusuri sungai kami menemukan 4 kolam cekungan yang cukup besar, kolam ke-2, ke-3, ke-4 terhubung air terjun kecil karena memang letaknya berdempetan, namun jika kami terjun ke kolam ke-4, akan kesulitan untuk naiknya, sehingga kami memutuskan untuk berhenti di kolam ke-3, dam kami mandi berenang di kolam ke-2 dan ke-3 saja, meskipun kebawah menuju kedung Darmo masih terdapat 5 kolam lagi. Trekking menyusuri sungai yang kami lakukan tidak jauh hanya berjarak kurang dari 1 km. Kurang lebih 2 jam kami menghabiskan waktu untuk bermain-main disini, menikmati jernihnya air kali yang terjebak di cekungan yang sangat dalam, bak si Bolang kecil yang riang bermain-main air di kali, gak ingat kalau sudah above fifty, he3x.

Setelah makan siang, puas berenang dan menunaikan dhuhur, kami balik menuju sepedah kami, dan masih harus melalui jalan setapak naik cukup extreem menerobos semak belukar yang sangat melelahkan, karena setamina terkuras habis setelah berenang. Tidak seperti saat berangkat, perjalanan pulang cukup menyiksa, dengan sisa-sisa tenaga harus melibas jalan naik turun yang tiada habis, terutama anggota termuda mas Insan yang seperti biasanya selalu tercecer dibelakang, namun kali ini saya terus ikuti dari belakang agar tidak sering-sering berhenti beristirahat, karena hari sudah sore. Setelah melewati periode waktu 2 jam 49 menit akhirnya kami sampai juga di homebase kantor Telkom Pagak.

Masih ada plan “remedy” rute ini di benak saya, karena belum menuntaskan 9 kolam kali gading sampai kedung Darmo. Namun tetep saja kami merasa puas, meskipun hanya mendapat 4 kolam saja, “there is still a chance for the other 5 ponds”.

Salam 2rodaMTB

Monday, September 14, 2020

PENDAKIAN GUNUNG WELIRANG VIA KALIANDRA

Gunung Welirang adalah salah satu gunung berapi aktif, yang berada di 3 wilayah Pemerintahan Daerah Tingkat II Kota Batu, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto. Dalam satu garis lurus dari Utara keselatan berjajar 4 puncak dengan ketinggian diatas 3.000 mdpl, dengan urutan Puncak Welirang, Puncak Kembar 1, Puncak Kembar 2, dan Puncak Ogal-Agil gunung Arjuna, dan disebelah timur ada Gunung Ringgit yang berada di sebelah kanan track pendakian Arjuna-Welirang dari Kaliandra dan disebelah kiri rute pendakian via Tretes. Komplek pegunungan tersebut dibawah pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Raden Soerjo, juga komplek pegunungan Anjasmoro dan teman2nya yang terbentang sampai jombang dan mojokerto berada dalam pengendalian Tahura R. Soerjo, didalamnya didominasi oleh jenis vegetasi hutan alam cemara, vegetasi hutan hujan pegunungan dan padang rumput. Selain puncak Gunung, obyek wisata yang dapat dinikmati di kawasan Tahura R. Soerjo adalah Arboretum Sumber Brantas (asal mula sumber mata air kali Brantas), Pemandian air panas Cangar, Beberapa Air terjun (Coban Putuk Truno, Coban Watu Ondo, Coban Watu Lumpang, dll), pertapaan Indrokilo, puncak watu Jengger dan masih banyak lagi obyek wisata yang bisa dinikmati dikawasan ini.

Dipilihnya Gunung Welirang kali ini adalah karena puncaknya merupakan salah satu puncak di Pulau Jawa dengan ketinggian diatas 3.000 mdpl, atau sudah masuk kelas elite 3.000-an...he3x. Terdapat 2  jalur yang biasa diambil para pendaki untuk mencapai puncak welirang, yaitu jalur Cangar/ Sumber Brantas dan jalur Tretes/ Prigen, jalur Cangar relatif lebih pendek jaraknya dibanding jalur Tretes, karena start pendakian jalur Cangar berada di ketinggian 1.700-an mdpl, sementara di jalur Tretes kita mulai pendakian dari ketinggian 800-an mdpl. Disamping kedua jalur tersebut, kita juga bisa melalui jalur tak resmi rute Kaliandra/ Taman Safari, jalur ini sebenarnya untuk akses pendakian Gunung Arjuna, dimana biasanya nge-camp di Lembah Kidang sebelum summit attack, namun karena jarak Lembah Kidang ke Pos 3 Welirang (Pondokan) hanya 30 menit perjalanan, maka jalur ini juga sangat ideal untuk mencapai puncak Welirang, disamping kita juga mendapat bonus keindahan lembah Kidang, dan untuk pendaki yang ingin menaklukkan Puncak Welirang dan Arjuna secara berurutan maka lembah kidang adalah base camp paling ideal. Namun sayangnya, meskipun rute Kaliandra ini termasuk rute pendek, namun track yang ditawarkan sungguh menyiksa lutut, karena medannya sangat terjal berupa batu berundak.

Tidak seperti pengalaman Tek-Tok Lembah kidang dari Kaliandra (Kawasan Wisata Jendela Langit) yang sudah pernah saya lakukan sebelumnya, dimana backpack kita kurang lebih hanya 3kg saja, namun kali ini pundak, pinggang, dan kaki ini dibebani carrier dengan beban 13Kg, baru seperempat perjalanan rasa-rasanya kaki ini tak akan bisa menginjak lembah kidang, namun karena semangat pantang menyerah, sampai juga kami ke Lembah Kidang, dengan catatan bahwa ditengah perjalanan beban carrier saya 1.5 kg pindah ke pundak PakDhe. Jika sebelumnya dengan sangat santai kami membutuhkan waktu kurang dari 6 jam untuk sampai di lembah Kidang, maka kali ini kami sampai harus butuh waktu lebih dari 7 jam. Cerita perjalanan Jendela Langit -  Lembah Kidang tidak perlu saya kupas pada tulisan kali ini, sobat dapat check pada tulisan saya sebelumnya “Trekking Lembah Kidang Lereng Arjuna”. Pada kesempatan kali ini saya akan ulas trekking dari lembah kidang menuju puncak Welirang 3.156 mdpl.

Kondisi cuaca di lembah Kidang sangat cerah, bulan pucat sudah terlihat sejak kami sampai di area camp, namun saat kami mendirikan tenda tiba-tiba saja tetesan air yang cukup rapat jatuh menerpa kami, kerena datangnya kabut yang tiba-tiba, dan uap airnya mengembun menetes bagai hujan, namun tidak berlangsung lama dan segera berhenti berganti dengan udara yang sangat cerah. Yang paling menyenangkan saat berkemah di Lembah kidang adalah adanya sumber air, meskipun kecil namun terus mengalir, sehingga kita tidak perlu susah membawa air bersih dari bawah, kemudian untuk kebelakang kita bisa membersihkan diri dengan air karena tidak semua orang bisa membersihkan diri dengan tissue selesai BAB, juga kita bisa membersihkan badan selepas berpeluh2 sehingga saat tidur ditenda menjadi nyaman. Untuk membuat api unggun saat malam hari, material tersedia melimpah, mulai dari trigger pembakaran dari daun cemara kering dan bahan utamanya kulit kayu pohon cemara yang mengelupas sangat mudah didapatkan berserakan dibawah pohon-pohon cemara. Sepanjang malam kami berkemah cuaca sangat cerah, tiada kabut turun sedikitpun, bulan meskipun tidak penuh, bersinar dengan sangat terang sehingga dapat menyinari area lembah kidang dengan baik. Suasana hening, ditengah hutan, di ketinggian, saat terang bulan malam minggu hanya kami nikmati  bertiga saja, MB, pakDhe, dan saya sendiri....mahal harganya masbro mbaksis, sangat langka untuk bisa mendapatkan yang seperti ini. Setelah api unggun menyala, disamping memberikan kehangatan, juga mengambil alih peran kompor yang kita bawa, kami masak dengan sumber panas dari bara api unggun. Setelah menikmati santap malam dibawah sinar bulan, dan menikmati suasana lembah Kidang di malam hari, akhirnya kami merebahkan badan di tenda untuk persiapan summit attack Welirang keesokan harinya.

Pada hari Minggu keesokan hari, setelah selesai sarapan dan merapikan tenda, kami berangkat memulai summit attack pada pukul 6.50. Dari lembah kidang ke Pos 3 Jalur Tretes atau yang dikenal dengan Pondokan (lokasi shelter penambang belerang), adalah jalan setapak datar yang cukup rimbun semak belukarnya, kami membutuhkan waktu sekitar 25 menit untuk sampai di Pondokan. Bagi rekan2 yang dari jalur Tretes biasanya nge-camp di area Pondokan, terdapat sumber air di lokasi ini meskipun tempatnya agak kotor. Diawali dengan jalan makadam yang cukup lebar, yang akhirnya menyempit berupa jalan tanah dan langsung menanjak gigi 1. Jalan tanah ini cukup panjang sampai akhirnya kami jumpai jalan dari bongkahan batu2 besar berserakan yang di beberapa ruas cukup sulit dilalui. Sampai kami di hutan cemara yang cukup indah dengan jalan setapak tanah ditengahnya, dari sini kita bisa melihat puncak Welirang dengan jelas. Track terus menanjak menyusuri sisi utara  lereng Gunung Kembar 1, setelah itu melintas di area yang cukup lapang untuk menyeberang ke lereng Welirang sisi selatan untuk kemudian memutari sampai pada sisi arah barat daya, dari sini kami mendapat line of sight kearah Sumber Brantas Batu, bumi pertanian BrakSeng sangat elok dilihat dari ketinggian, nampak juga kepulan uap air sumber air panas Cangar. Kemudian kami berbelok arah untuk naik menuju puncak. Akhirnya puncak Welirang tergapai kaki kami, ada banyak puncak diatas, kami menjejaki 2 puncaknya disebelah timur dan di sebelah selatan. Seperti kebanyakan puncak gunung berapi, puncaknya sangat gersang, dibumbui dengan asap belerang yang cukup menyengat dan angin yang bertiup sangat kencang. Dari puncak Welirang, sejauh mata memandang kita dapat melihat gunung-gunung disekitarnya, yang paling dekat di arah selatan sedikit ke timur, segaris lurus secara berurutan Kembar 1, Kembar 2, dan Puncak Ogal-Agil yang paling jauh nampak dengan jelas, bergeser sedikit lagi persis arah tenggara nampak puncak Mahameru terlihat menyembul diantara awan putih di kejauhan, kemudian di arah utara agak ketimur nampak Gunung Penanggungan menjulang didampingi gunung Bekel disebelah kanannya, sementara disebelah barat gugusan gunung Anjasmoro dan kawan-kawannya. Setelah puas menikmati ketinggian puncal Welirang, kami segera turun.



Pendakian Puncak welirang start dari lembah kidang membutuhkan waktu kurang lebih 3.5 jam dengan jarak tempuh sekitar 6 Km, sementara untuk turun sampai kembali ke Lembah Kidang kami butuh waktu sekitar 2.5 Jam, kira-kira pukul 13.00 kami sudah berada kembali di kemah kami. Rencana turun jam 14.00, ternyata tidak terlaksana, mengingat kondisi tubuh sudah sangat lelah, siksaan sebenarnya bukan hari ini, namun terjadi kemarin saat memanggul carrier dari Jendela Langit menuju Lembah Kidang. Karena terlena istirahat yang kebablasan, kami turun dari lembah kidang pukul 16.30.

Karena sudah prepare dengan perjalanan malam, kami sengaja memulai perjalanan dengan santai, menikmati suasana senja di pegunungan, dengan suasana yang berbeda tentunya. Meskipun sinar bulan mengiringi perjalan kami, namun kami sudah harus menyalakan senter sebelum sampai di MPS, karena jalan setapak kami sudah tak nampak jelas. Selepas MPS  kami harus extra hati-hati, mengingat track batu berundak sangat curam, ditambah tingkat kelelahan yang cukup parah, yang mempengaruhi keseimbangan kami, beberapa kali kami harus berhenti beristirahat di kegelapan, namun dengan bonus menikmati kerlap-kerlip lampu Prigen, Pandaan,dan kota disekitarnya, yang nampak Indah dan tentunya pemandangan seperti ini sangat langka bagi kami. Salut untuk pakDhe rekan yang paling senior, namun staminanya paling tangguh diantara kami, yang rela membawa beban paling berat. Sesampainya di pipa besar diatas niagara Gumandar, ibarat air ledeng stamina kami tidak lagi mengucur namun jatuh stetes demi stetes yang menggambarkan kelelahan yang sangat. Dengan kondisi lutut rekan MB yang terasa nyeri, maka semakin menahan laju langkah kami. Dari kejauhan kami sempat melihat penjaga parkir di Kawasan Wisata Jendela Langit memberikan kode arah dengan menyorotkan kedip lampu yang cukup terang, kamipun membalasnya menandakan kami masih dalam arah track yang benar, mereka memberikan kode mungkin karena khawatir kami tersesat, karena 2 minggu sebelumnya ada pasangan suami istri yang tersesat saat turun malam ketika trekking ke lembah Kidang, bahkan sampai harus dijemput keatas oleh penjaga parkir Jendela Langit. Alhamdulillah, puji syukur Yaa Allah, setelah kurang lebih 5 jam, kami sampai di area parkir mobil tepat pukul 21.30.

Sesampainya dibawah kami mendapati penjaga parkir masih terjaga, sempat beberapa saat kami ngobrol sambil melepas lelah, sebelum menginjak tuas gas untuk mengantarkan kami menuju Malang. Kira-kira pukul 23.00 kami sampai kembali di Malang dengan selamat, kami berpisah di jalan Ahmad Yani, saya langsung pulang menuju rumah, sementara pakDhe dan MB kearah Sawojajar. Seberat apapun yang telah kami lalui, tidak akan pernah menyurutkan semangat kami untuk melakukan hal yang sama pada kesempatan yang akan datang. Di ketinggian lereng dan puncak gunung, di sela-sela rerimbunan hijaunya daun pepohonan hutan, di tengah padang sabana, desiran angin yang menerpa dedaunan hingga suaranya terdengar syahdu di telinga juga hembusannya lebut membelai tubuh kita, dan suasana hening yang semuanya membangkitkan kedamaian yang tiada tara.

Tuhan telah menciptakan Indonesiaku dengan sangat indah, akan sangat bersalah jika kita tak mau menikmati karunia ini.

Akhirnya, Salam 3AngleTOP






Sunday, August 16, 2020

BAGAIMANA MEMILIH TENDA PENDAKIAN


Camping adalah  “ACCESSORIES” dari banyak kegiatan OUTDOOR yang sering dilakukan, baik itu rekreasi alam bersama keluarga, jelajah alam bersepeda (Offroad MTB), touring motor ataupun kegiatan pendakian. Untuk itu perlengkapan yang wajib dimiliki adalah TENDA untuk berkemah, yang Type atau jenisnya untuk masing2 kegiatan outdoor tersebut pastilah berbeda. Kali ini saya mencoba mengulas bagaimana memilih jenis tenda yang sesuai dengan kegiatan outdoor kita. Meskipun saya sudah memiliki tenda yang lumayan bagus keluaran Great Outdoor, ternyata masih perlu tenda yang lain untuk kegiatan pendakian, karena tenda yang saya punya meskipun kokoh dan sangat nyaman untuk berkemah namun beratnya mencapai 10 Kg, jika tenda ini dibawa saat hiking, disamping penuh2-in keril juga sangat berat pastinya, dan tenda jenis ini cocoknya untuk rekreasi keluarga dimana bisa membuka kemah yang tidak jauh dari posisi parkir mobil kita.

Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memilih tenda untuk pendakian, yang pertama adalah tentu bobotnya, adalah jenis tenda ultra light yang sekarang sudah banyak tersedia dipasaran, untuk kapasitas 3 orang beratnya tidak sampai 3 kg, dan packing-nya juga tidak memakan tempat, sehingga tidak menyusahkan kita saat dibawa naik gunung. Terkait bobot dipengaruhi oleh faktor bahan, untuk frame serat karbon tentunya lebih ringan dibanding alumunium atau besi. Sedangkan semakin baik bahan flysheet (ketebalan bahan dan coating waterproof), juga akan semakin menambah bobot keseluruhan tenda. So bijak-bijaklah dalam memilih tenda untuk memenuhi kebutuhanmu.

Kebanyakan kain tenda menggunakan bahan dari Polyester atau Nylon yang dilapisi bahan tahan air. Sebenarnya ada satu lagi jenis bahan kain tenda yaitu dari serat karbon, namun demikian bahan ini jarang digunakan karena mahal. Kain tenda biasanya dinyatakan dalam ukuran 20D, 40D, 60D, dst, dimana huruf D adalah singkatan dari Denier atau ukuran berat serat benang sepanjang 9.000 meter ( 9.000 meter serat sutra beratnya 1 gram). Jadi untuk bahan yang sama semakin tinggi nilai D maka semakin kuat namun semakin berat.  Bahan kain tenda juga ada yang dinyatakan dalam 190T, 210T, dst, ini menyatakan thread count atau kerapatan benang, angka 190T menyatakan bahwa dalam 1 squre inch terdapat 190 helai benang. Maka pada bahan kain yang sama, semakin besar Denier (D), maka semakin kecil thread Count-nya (T). Agar kain tenda tidak tembus air, maka perlu diberikan lapisan anti air pada permukaannya. Bahan pelapis kain polyester adalah polyurethane (PU) sedangkan bahan pelapis kain nylon adalah silicone elastomer (silnylon). Perlu diketahui bahwa kebanyakan tenda berbahan kain dari nylon dengan pelapisnya Silicon lebih mahal dari pada tenda berbahan polyester + PU, tentunya dengan segala kelebihannya yang antara lain kain nylon lebih tahan abrasi dibanding polyester, sementara pelapis silicone (silnylon) lebih tahan air dibanding PU, bersifat elastis dan lebih stabil diberbagai kondisi UV dan temperatur, satu lagi keunggulan silnylon adalah licin, sehingga jika tertimpa salju akan lebih mudah meluncur turun, sehingga tidak sampai mengembun didalam tenda dan tidak membebani tenda. Ketahanan terhadap rembesan air dinyatakan dalam satuan “mm”, misalkan 3.000mm, 5.000mm, 10.000mm. Semakin tinggi nilai mm maka akan semakin kedap air, namun demikian dengan semakin tebal coating maka akan semakin berat dan kaku yang menyebabkan mudah robek, dan juga harus diperhitungkan kemampuan kain untuk bernafas agar tenda tidak panas, jadi bukan berarti tenda yang mempunyai rating mm semakin tinggi akan semakin baik. Sebagai gambaran, payung pada umumnya mempunyai nilai kedap air 400-an mm, namun sudah mampu melindungi diri kita agar tidak basah dari air hujan, sehingga pabrikan men-design tendanya dengan kemampuan kedap air tertentu  tentunya dengan pertimbangan yang sudah dipikirkan sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, untuk tenda pendakian design didasarkan pada 3 pertimbangan utama yaitu : Light Weight – Waterproff Scale – Tear Strength, dan tentunya plus faktor utama  dalam commerce yakni “HARGA”. Semoga sobat semua tidak menjadi bertambah bingung dengan penjelasan diatas, dengan harapan bahwa dalam berbagai kasus, semakin kita memahami persoalan yang dihadapi maka semakin tepat keputusan atau solusi yang kita buat, termasuk dalam hal membuat pilihan tenda.

Yang berikutnya adalah tentang “Features”, karena sesuai dengan peruntukannya, pabrikan mendesign tenda sedemikian rupa agar memuaskan customer-nya.

1. Dari kemudahan mendirikan tenda, terutama bagi solo hiker maka hal ini menjadi penting, biasanya tenda jenis DOME hanya diperlukan 2 frame penyangga untuk mendirikan tenda, yang mudah didirikan meskipun dilakukan oleh satu orang tanpa bantuan siapapun.

2. 50 cm bagian paling bawah inner layer terbuat dari bahan tahan angin, sehingga saat kita tidur terlindung dari hembusan angin.

3.  Jika memungkinkan pilihlah tenda yang menyediakan ruang diluar ruang utama untuk tidur, ini bisa dipergunakan untuk menaruh peralatan pendakian kita yang basah sehingga ruang utama untuk tidur tetap terjaga kering dan bersih sehingga nyaman untuk beristirahat, selain itu dalam keadaan hujan bisa digunakan untuk memasak.

Penting sekali untuk memilih tenda yang mempunyai kekuatan berdiri yang cukup tangguh melawan hempasan angin yang cukup besar, dengan memastikan frame tidak mudah patah, pasaknya cukup, dan tali penguatnya pada titik yang tepat, karena di ruang terbuka dan di atas gunung sering terjadi badai, yang berpotensi merusak acara yang sudah direncanakan dengan baik.

Maka bagi sobat alam, sebelum menetapkan pilihan sebaiknya pelajari dulu kharakteristik tenda yang akan dibeli, pastikan memenuhi sebagian besar aspek yang anda harapkan untuk memenuhi kebutuhan hobi anda. Dan bagi saya pribadi, yang melakukan pendakian dengan team 3 orang dengan frekuensi pendakian yang tidak terlalu sering, pilihan jatuh kepada Tenda NATURHIKE LAWU NH18ZP001. Tenda LAWU tersebut adalah tenda baru saya, yang dibeli dari GEBYAR BELANJA KEMERDEKAAN online shop "hikenrun" dengan discount 45% (harga sering menjadi faktor yang paling penting bagi banyak orang termasuk saya, faktor lainnya menjadi next consideration...he33x)

Dalam tulisan ini, informasi saya pelajari dengan melakukan googling pada berbagai laman yang terkait dengan topik, sehingga apabila terdapat kesalahan, mohon bagi yang lebih paham agar menuliskan koreksi dalam kolom komentar, dan yang paling penting semoga sharing ini bisa bermanfaat bagi yang memerlukannya dan sebelumnya tidak mengetahui informasi tersebut.


Tuesday, August 11, 2020

TREKKING LEMBAH KIDANG LERENG ARJUNA

Lembah kidang adalah salah satu spot yang sangat indah pada jalur pendakian Gunung Arjuna via Taman Safari/ Kaliandra atau rute Tretes/ Kakekbodo, padang rumput yang luas dikelilingi oleh hutan cemara membuat lokasi ini terlindung dari angin sehingga pas banget untuk nge-camp. Berada di ketinggian 2.500 mdpl, posisinya kira-kira berada ditengah-tengah Segitiga Welirang – Ringgit – Arjuna, dan dari lokasi ini puncak Ogal-Agil terlihat sangat jelas di arah selatan, yang seolah-olah tersenyum mengejek kita, “apakah mampu menjejakkan kaki di puncaknya”, karena dalam jarak line of site kurang lebih 1.500 meter puncak Ogal-Agil terlihat menjulang ke awan, pasti sangat berat jalur pendakian rute ini.

Aktifitas trekking-ku ternyata sekarang sudah mengalahkan rutinitas offroad cycling karena ada “keasyikan” baru didalamnya, itung-itung ngurangi traffic load, karena sejak pandemi euforia bersepeda sudah menjadi trend. Kali ini kami bertiga mencoba trekking menuju Lembah Kidang, start dari Taman Jendela Langit di Kaliandra. Di awal benak kami, rute ini tidak akan terlalu berat, karena dari informasi yang saya dapatkan dari banyak tulisan blog sobat pendaki, pendakian Gunung Arjuna jalur Lawang/ Kebun Teh Wonosari adalah yang paling berat, namun ternyata jalur ini bisa membuat kapok yang pernah melaluinya, karena sepanjang track-nya tak ada ruas yang datar, sepanjang jalur kurang lebih 6.5 Km adalah tanjakan, bahkan banyak diantaranya track bebatuan yang sangat terjal. Sebenarnya target utama kami bukan lembah Kidang, namun batasan waktu trekking sampai dengan pukul 14.00, dan segera setelah itu turun kembali, karena tidak ingin kejadian kemalaman di gunung seperti terjadi di Gunung Anjasmoro terulang kembali.

Trekking Start Point dimulai dari Taman Jendela Langit. Perlu sobat pendaki ketahui bahwa untuk mencapai lokasi ini, bagi yang berangkat dari surabaya bisa melalui jalan Indrokilo, setelah keluar dari pintu TOL Pandaan menuju malang, kurang lebih 850 meter belok kanan (jika belok kiri ke Rawon Jetak), ikuti saja jalan Indrokilo sepanjang 6.5 km, jika ada petunjuk arah Talu Nongko ikuti saja, sebelum SDN Dayurejo III belok kanan, ikuti jalan ini sampai ke lokasi Taman Jendela Langit. Sedangkan yang dari Malang, bisa melalui akses menuju Taman Safari. Ruas jalan terakhir menuju Taman Jendela Langit sepanjang kurang lebih 2.5 km adalah jalan makadam sempit menanjak dengan batu-batu yang tertata sangat kasar, sehingga laju mobil harus sangat pelan dijalur ini. Tempat parkirnya dijaga 24 jam, sehingga saat Jalur Pendakian sudah dibuka kembali para pendaki bisa melalui jalur ini tanpa khawatir harus menyimpan mobil dimana. Bagi yang khawatir mobilnya tidak mampu menanjak di jalan makadam kasar, bisa memilih parkir di rest area bawah, disini sudah ada ojek motor maupun ojek mobil, atau jika tidak ingin keluar tambahan ongkos ojek, maka harus berjalan sepanjang 2.5 km menuju Taman Jendela Langit.

Setelah titip2 mobil ke panjaga parkir, pukul 7.45 kami bertiga mulai trekking dari ketinggian 1.100-an mdpl. Track awal adalah makadam yang masih landai, setelah 5 menit perjalanan baru kita jumpai tanjakan di jalan setapak yang lumayan membuat nafas cepat terengah-engah. Sampai kali batu tempat aliran air terjun Gumandar, jalannya naik terjal dengan track berbatu. Untuk diketahui bahwa air terjun gumandar saat musim kemarau tidak ada airnya sama sekali. Sobat pendaki, sebelum mencapai kali Batu Gumandar kita ikuti jalan setapak ke kanan menyeberang kali, ancer2nya adalah keberadaan 2 pohon di tengah2 rerumputan. Setelah itu jalan setapak berundak berbatu sangat terjal, setelah kurang lebih 1 jam 15 menit perjalanan maka akan kita jumpai pipa air dari besi. Untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat desa, secara swadaya mereka membangun instalasi pipa air untuk mengalirkan air dari sumber air diatas lembah Kidang, sehingga jalur pipa tersebut bisa menjadi panduan kita menuju lembah Kidang. Tak seperti biasanya, sejak dari bawah raut muka rekan MB tidak nampak ceria, dan terkesan menahan sesuatu dan nampak lelah, beberapa kali harus berhenti karena kelelahan. Nampaknya bukan lelah penyebab MB kurang bersemangat, ternyata sejak dari bawah sudah merasakan penderitaan karena perutnya mules. Dan akhirnya karena sudah tidak tahan lagi, dia lari ke semak-semak untuk menunaikan tugasnya, sementara kami menunggu sampai habis 2 batang rokok. Setelah akhirnya nampak MB muncul dari rimbunan semak wajahnya sudah sangat ceria, tidak seperti sebelumnya, maka trekking menjadi lebih bergairah dan berjalan lebih cepat.

Pos peristirahatan setelah Gumandar adalah Terminal MPS (Masyarakat peduli Sumber), lokasi ini ditandai dengan plakat bertuliskan “Terminal MPS 36 Jatiarjo”, terdapat balok kayu yang bisa digunakan duduk beristirahat, dan juga terdapat air bersih, keluar dari bocoran pipa air. Kami tidak lama disini, karena mengejar target sebelum pukul 14.00 harus sudah mencapai lembah Kidang. Sepanjang perjalanan kami berada di sebelah selatan lereng Gunung Ringgit, dengan track yang terus menanjak tiada akhir, yang memaksa kami beberapa kali harus berhenti untuk menurunkan heartrate yang telah mencapai angka maximal 167 bpm. Setelah melewati padang ilalang yang cukup luas, sampailah kami di Sawahan Banyu Kuning atau taman Lavender. Tipikal Area sekitar Arjuna, kabut tebal datang dan pergi dengan begitu cepat, dan saat kami sampai di Taman Lavender kabut tebal turun menyelimuti area ini, bagus sekali untuk pengambilan foto yang nampak lebih dramatic. Waktu menunjukkan sudah masuk Dhuhur, dan karena disini tidak ada sumber air, maka kami putuskan segera meneruskan perjalanan untuk mendapatkan sumber air, dan tidak sampai setengah jam perjalanan kami menemukan air bersih yang keluar dari pipa bocor, maka segera saja kami beristirahat untuk menunaikan sholat Dhuhur disini. Dari Taman Lavender ini sebetulnya kami keluar dari jalur pendakian yang ditunjukkan Maps dari aplikasi pendakian, yang arahnya menyimpang ke kiri, namun karena untuk sampai ke lembah Kidang harus mengikuti jalur pipa air, maka kami ikuti saja jalurnya. Tepat pukul 13.00 kami menjumpai area yang lumayan lapang, dimana ada batu yang bisa dipakai duduk beristirahat, sehingga kami putuskan untuk buka bekal disini, disamping itu rasa lapar sudah mengganggu perjalanan. Cita rasa makanan apapun pastinya 5x lebih maknyus dibanding dibawah, termasuk bekal makanan kami, masBro mBak Sis tak percaya...silahkan dicoba sendiri, he3x.


Alhamdulillah, setelah menempuh jarak kurang lebih 6.5 Km dalam rentang waktu hampir 6 jam, kami sampai di lembah Kidang, dan waktu menunjukkan pukul 13.55, yang artinya 2 target yang kami bidik yaitu jam 14.00 dan Lembah Kidang dapat kami penuhi keduanya pada trekking kali ini. Kami memilih tempat beristirahat yang cukup nyaman dibawah pepohonan dan menghadap ke selatan, sehingga saat rebahan di rumput yang empuk mata kami lurus menghadap puncak Ogal-Agil yang terlihat dengan sangat jelas dan cukup dekat. Penat badan ini langsung luntur terobati oleh kesunyian, keasrian, kemegahan alam ciptaan gusti Allah yang tak mungkin dapat disaingi oleh maha karya sejuta Architect-pun.


Lembah Kidang ini bisa sebagai transit untuk pendakian ke Arjuna maupun Welirang. Setelah cukup lama beristirahat dan menikmati pemandangan alam, sekaligus mengembalikan stamina, kamipun segera turun. Namun sebelum turun kami explore kurang lebih 300 meter jalur pendakian menuju Gunung Welirang, dan ternyata ada space untuk mendirikan 4 tenda, yang posisinya terlindung pepohonan Cemara, berada di depan Goa yang didalamnya terdapat air bersih yang menetes dari sela-sela bebatuan yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan minum, disini bisa menjadi alternatif nge-camp.


Waktu hampir menunjukkan pukul 15.15, segera saja kami balik untuk turun. Karena stamina tubuh sudah kembali fit, maka speed kami geber pakai gigi 6 dengan harapan tidak kemalaman di perjalanan. Trekking turun memang tidak terasa melelahkan, namun dengkul bener-benar menanggung beban yang sangat berat. Kami terus berpacu dengan waktu, apalagi leading trekker MB tidak pernah mengendorkan speed-nya, sehingga saya harus sedikit lari2 kecil untuk mengimbanginya. Alhasil, setelah kurang lebih 1 jam 30 menit, sesampainya kami di Terminal MPS, stamina sudah benar-benar terkuras, dan perjalanan semakin lambat, ditambah lagi sejak Terminal MPS track pendakian berbatu dan curam, diperlukan kehati-hatian untuk menuruni track ini, karena kondisi badan yang sudah letih akan sangat mudah oleng. Sangat dianjurkan untuk menggunakan bantuan Trekking Pole. Karena ritme jalan kami sudah jauh menurun, akibatnya kejadian Anjasmoro terulang kembali, kami menuruni gunung dikegelapan, untung saja salah satu dari kami, PakDhe membawa cadangan flashlight, meskipun dengan lumen yang tidak besar namun sangat membantu menerangi perjalanan kami. Sedikit saran, saat pendakian agar benar2 memperhatikan persimpanagn yang kita lalui, bila perlu catat atau difoto, dan bila perlu ditandai, karena saat turun dengan kondisi letih apalagi di kegelapan, konsentrasi kita sudah jauh menurun, yang memungkinkan bisa salah ambil jalur. Akhirnya kami sampai di Taman Jendela Langit pukul 18.00. Sekali lagi alhamdulillah, kami dapat melakukan Tek-Tok lembah Kidang dengan lancar dan selamat, setelah ngopi di Cafe Jendela Langit untuk menghangat badan dan mencegah ngatuk saat driving menuju Malang, maka segera saja kami meneruskan perjalanan pulang.


Semoga sedikit pengalaman yang kami tuangkan dalam tulisan ini bisa menjadi “share” yang bermanfaat bagi sobat alam semuanya, untuk bisa lebih mencintai alam maupun sebagai panduan untuk melakukan hal yang sama. Dan sedikit catatan kami, bekas kebakaran hutan masih terlihat jelas bekasnya, nampak batang pohon yang kulit kayunya hangus, dan yang lebih membuat sedih adalah menyaksikan pipa paralon jalur air yang gosong meleleh karena panas, tak terbayangkan betapa sedihnya masyarakat desa yang mengandalkan air darinya, alhamdulillah saat pendakian kami, sudah tergantikan dengan pipa besi yang terpasang dengan kokoh. Satu lagi catatan kecil dari trekking kali ini adalah di jalur pendakian Kaliandra ini banyak sekali sampah plastik yang tercecer, ajakan saya bagi siapapun yang benar-benar mencintai alam, jangan tinggalkan sampah non organik di gunung & hutan, seperti semboyan para pendaki, “Don’t Leave anything but FootPrint and Don’t take anything but Picture”.

Salam 3angleTOP

Saturday, July 25, 2020

GOWES COBAN PITU PUJON


Di Malang Raya terdapat area wisata air terjun yang diberi nama Coban pitu, atau Sumber Pitu, atau Coban Sumber Pitu, atau Coban Gerojogan Pitu, begitulah orang menyebutnya, jadi jangan bingung. Sobat juga jangan sampai salah dengan yang dimaksud Coban Pitu tersebut, karena terdapat di dua tempat di Kabupaten Malang, satu diujung barat yaitu di desa Pujon Kidul Kecamatan Pujon, yang satunya lagi diujung timur yakni di desa Duwet Krajan Kecamatan Tumpang. Keduanya sama-sama eksotik, memiliki pesonanya masing-masing.

Kali ini petualangan team Blakrak-an adalah explorasi Coban Pitu yang berada di Pujon. Pada gowes kali ini lumayan rame, Sawojajar Area menyumbang 4 peserta, dari Sukun dan Wagir ada 4 peserta, serta Cengger Ayam Grup 3 peserta, sehingga totalnya 11 peserta. Kami menggunakan 2 Loading Pickup sampai Kantor Telkom Batu, meskipun awalnya start direncanakan dari Patung Sapi Pujon, dan karena menurut pak Hari terlalu cemen kalau start diatas, maka gowes diputuskan diawali dari Kantor Telkom Jalan Diponegoro Kota Batu.

Menyisir jalan raya Batu-Pujon dengan sepeda MTB ternyata lumayan mengasyikkan, dan juga tidak terlalu berat, kenapa saya katakan ini, karena jalur ini biasanya dilibas oleh sobat goweser dengan sepedah RB. Rute ini sangat cocok untuk melatih endurance kita, karena rute sepanjang 7.6 Km berakhir di patung sapi Pujon, dengan elevation gain 308 m, naik secara bertahap dan smooth. Saya melahapnya dalam waktu kurang lebih 35 menit, sementara Pak Dhe jauh di depan saya, mungkin dia hanya butuh sekitar 30 menit untuk menuntaskan etape pertama ini. Dan seperti biasanya anggota termuda kami mas Insan, keteran di belakang, meskipun begitu dengan semboyan “alon-alon asal kelakon” sampai juga dia di Patung Sapi ditemani Pak Edy Arifin.

Istirahat sejenak di patung Sapi, sambil ngobrol dengan beberapa sahabat goweser RB yang kami temui juga sedang beristirahat disana. Setelah hampir 20 menit kami beristirahat, Etape ke-2 dilanjutkan ke arah Desa Wisata Coban Kidul, setelah menempuh jarak 2.6 Km, tepatnya di depan Masjid An – Nur, kami belok kiri menuju lokasi Coban Pitu. Sampai disini jalan masih sangat bagus, asphalt dan beton cor halus, kemudian setelah melewati perkampungan terakhir, barulah kami jumpai jalan makadam yang terus menanjak, meskipun tanjakannya cukup landai namun konsisten menanjak tanpa turunan sama sekali, yang dikenal dengan istilah ketemu TANTE (Tanjakan Terus). Menapak jalan makadam menanjak sangat menguras tenaga, karena roda terjebak diantara batu makadam, kemudian untuk memutarnya butuh sentakan agar melompati batu yang menjebaknya, sentakan-sentakan kecil yang konsisten dan terus menerus tersebut cepat menyedot habis energy kami. Etape-2 ini berakhir di parkiran motor Coban Pitu, dimana gowes sejak dari patung Sapi sampai disini menempuh jarak 6.4 Km.

Etape-3 dimulai dari Parkiran Motor sampai Coban Pitu, track ini sebetulnya adalah jalur TREKKING bukan untuk gowes, namun karena kami sebelumnya belum pernah kesini, maka dengan PD-nya sepeda terus kami gowes. Benar saja, setelah kurang lebih 50 meter kami lalui, tak satupun dari kami sanggup mengayuh pedal sepeda, dikarenakan jalurnya adalah tanah yang “nge-Rel” (bekas roda motor) ditambah debu dan tanjakannya terjal. Akhirnya dengan sangat terpaksa, sepanjang kurang lebih 1.8 Km kami TTS (Tuntun-Tuntun Sepeda) sampai titik sebelum turun ke coban. Dan karena jalur turun ke Coban sangat curam, maka sepeda kami tinggal diatas, dan kami turun dengan membawa ransel dan botol minum saja.

Setelah kami melewati turunan jalan tanah berundak, akhirnya kami disambut oleh air terjun yang cukup deras dengan background tebing batu padas yang sangat bagus, .....woo sudah sampai di Coban Pitu pikir saya, eh ternyata itu adalah Coban Siji (1), dan setelah saya persis berada didepan Coban Siji, kami putar badan...nun jauh diatas ada tebing tinggi yang dirambati dedaunan yang menghijau lebat dengan tujuh air terjun kecil yang menghiasi terlihat sangat indah, itulah ternyata Coban Pitu.

Tak perlu menunggu lagi, saya dan mas Boiy langsung naik menuju atas tanpa menghiraukan keberadaan Coban Siji yang sebetulnya juga sangat bagus, karena tujuan utama kami adalah menyaksikan Coban Pitu. Alamak....untuk sampai di Coban Pitu, kami harus mendaki anak tangga tanah berundak yang sangat terjal yg tak terhitung jumlahnya, berkali-kali kami harus berhenti untuk ambil nafas setelah melalui beberapa anak tangga, karena saking terjal dan tingginya. Akhirnya kami bisa berada sangat dekat dengan air terjun Coban Pitu, namun sayangnya tempat yang tersedia untuk menikmati air terjun ini sangat sempit, dan cenderung basah karena jaraknya yang terlalu dekat dengan jatuhnya air. Setelah beberapa jepret-an foto, saya segera turun menuju Coban Siji lagi. Karena turunan yang sangat curam, sebaiknya sobat menfaatkan tali yg telah dipasang sepanjang jalur turunan, untuk menjaga keseimbangan badan dan bisa sebagai pengaman apabila terpeleset. Akhirnya saya bersama rekan2 yang lain beristirahat di saung yang terletak di sebelah barat Coban Siji, sambil menikmati bekal makanan yang kami bawa dari rumah dan menunaikan sholat Dhuhur di tempat yang sudah tersedia di shelter tersebut. Saat kami disini, ada 2 kelompok pengunjung yang jumlah totalnya kalau saya gak salah ingat sebanyak 8 orang. Hampir dua jam kami berada di lokasi coban, untuk menikmati indahnya coban dan suasana alam dengan gemercik air terjun yang sangat eksotis.

Perjalanan pulang kami lalui pada jalur yang sama, dimana saat berangkat sepeda dituntun karena otot kaki tidak mampu melahap tanjakan, saat pulangpun dibeberapa bagian jalan, sepeda kami tuntun karena turunannya yang sangat tajam, “naik gak kuat turun takut”, ......capek deh. Saran saya bagi pengunjung Coban Pitu, baik gowes atau naik sepeda motor, sebaiknya manfaatkan lokasi parkir, dari sini kita bisa trekking ke lokasi Coban, hal ini saya kira lebih nyaman dari pada tuntun-tuntun sepeda di jalan menanjak dengan kondisi badan yang sudah letih.

Terakhir, saya sampaikan terima kasih untuk kebersamaannya kepada sahabat-sahabat saya, pak Hari, pak Anang, pak Dhe, mas Boiy, pak Edy, mas Insan, mas Fuad, dan 3 rekan yang baru pertama kali blakrak-an bersama saya mas Iwan, mas Angga dan pak guru Kris. Jangan kapok gabung bersama kami, meski gaya blakrak-an kami agak bonek dan tak kenal waktu.

Sampai jumpa pada explorasi rute gowes berikutnya.

Salam 2rodaMTB

Saturday, July 18, 2020

PENDAKIAN GUNUNG ANJASMORO VIA CANGAR


Gunung Anjasmoro kurang begitu populer bagi para pecinta alam, tidak seperti Arjuna – Welirang – Penanggungan, meskipun letaknya berdekatan. Keberadaannya menduduki 3 wilayah daerah tingkat II, yakni Kota Batu – Kabupaten Jombang – Kabupaten Mojokerto. Akses pendakian utama adalah dari Wonosalam Jombang, atau ada juga yang menyebut pendakian via Carangwulung, di jalur pendakian ini rutenya sudah tertata rapi dengan beberapa POS interval dan petunjuk arah yang cukup jelas. Target puncak yang dituju melalui rute ini adalah Puncak Cemorosewu dengan ketinggian 2.282 mdpl. Sementara jalur alternatif lainnya adalah dari Cangar Batu, namun jarang ada pendaki yang melalui jalur ini, sehingga sulit menemukan BLOG atau VLOG tentang pendakian Anjasmoro via Cangar bagi yang ingin melihat review-nya sebelum melakukan pendakian, termasuk saya sendiri yang tidak menemukan referensi yang informatif sebagai bekal pendakian di jalur ini. Puncak Anjasmoro dari jalur ini lebih pendek dibanding puncak Cemorosewu, yakni di ketinggian 2.258 mdpl. Sebenarnya banyak puncak-puncak tersembunyi di Gunung Anjasmoro ini yang belum terjamah para pendaki, karena puncaknya seperti tusuk gigi. Tidak seperti Penanggungan, Arjuna, Welirang, Semeru yang puncaknya gersang berbatu, di puncak Anjasmoro ini masih tertutup hutan yang cukup rimbun, sehingga tidak panas terik dan nyaman untuk duduk bersantai berlama-lama.

Karena tidak ada yang mengulas secara jelas jalur pendakian via Cangar, maka seolah2 menjual  tantangan kepada kami yang wajib untuk dibayar cash. Tidak gowes tidak pula trekking, menemukan rute baru  atau paling tidak melalui rute yang belum dikenal banyak orang selalu menjadi magnet atau daya tarik yang luar biasa bagi kami. Akhirnya rencana menaklukkan Gunung Anjasmoro rute Cangar mengalahkan planning kami sebelumnya untuk summit Gunung Bekel dengan jalur melingkar.

Start pendakian dimulai dari bekas pabrik Jamur, di KM 18 jalan Raya Batu – Pacet. Memasuki komplek bekas pabrik jamur tersebut lurus saja sampai menemukan bangunan Villa Pabrik Jamur yang sepertinya sudah tidak pernah dipergunakan dalam waktu cukup lama, kemudian belok kanan kita temukan tempat lapang yang dasarnya terbuat dari semen, lurus saja kemudian belok kanan melalui jalan setapak kecil menuju semak2 (jangan ambil yang lurus). Mengikuti jalan setapak yang cukup lebar dan nyaman untuk berjalan, namun sayangnya kami terhalang pohon tumbang yang telah dipotong2 sehingga menutup jalan setapak kami. Cukup lama kami berhenti disini untuk mencari jalan setapak yang hilang. Perlu sobat pendaki ketahui bahwa semak belukar di jalur pendakian ini sangat lebat, dan menutup jalan setapak sehingga tak nampak oleh mata kita. Karena jalan setapak tidak kami temukan, maka parang yang sudah kami persiapkan dari rumah segera saja berfungsi. Pak Dhe mBeng, sebagai pembuka jalan dengan sigap mengepras setiap semak yang menghalangi jalan kami, terutama tanaman berduri yang kami menyebutnya “rendhet”. Pak Dhe terus mengepras semak belukar yang menghalangi kami sampai jalan setapak kembali kami temukan.

Meskipun jalan setapak sudah kami temukan, namun parang di tangan pak Dhe tidak berhenti untuk terus mengepras semak belukar yang menjadi penghalang jalan kami, sementara saya dan MB mengikuti dari belakang. Akibatnya perjalanan kami menjadi sangat lambat, namun sisi baiknya adalah kami tidak terlalu lelah, meskipun jalur pendakian ini kemiringannya luar biasa, menurut perkiraan saya sekitar 60 derajad. Di beberapa titik rute pendakian, kami temukan pita penanda jalur dari tali rafia yang sudah usang, dan beberapa pita plastik kuning-hitam. Kurang lebih 30 menit sejak menemukan jalan setapak yang hilang, kami kembali kehilangan jejaknya, sempat salah arah meskipun tidak begitu jauh, dan setelah melakukan observasi beberapa saat akhirnya kami temukan jalan setapak menuju atas. Tips bagi sobat pendaki, jika tiba2 kehilangan jalan, sebaiknya explore kesegala penjuru arah mata angin sejauh kira-kira 20 meter untuk menemukan kembali jalan setapak yang menghilang sepenggal. Akhirnya sampailah kami di ketinggian 2.150 mdpl, depan kami adalah jurang yang sangat terjal, kami menyebutnya puncak bayangan dari sisi Cangar.

Babak ketiga rute yang kami jalani adalah rute paling nyaman, trekking menyisir punggung gunung yang dikiri dan kanannya jurang terjal yang sangat dalam, sehingga tidak ada lagi tanjakan terjal dengan kemiringan extreme seperti dibawah. Sepanjang jalur ini kami melewati 3 tempat datar yang bisa dijadikan tempat nge-camp yang lumayan terlindung dari hembusan angin dibanding berkemah di puncak. Rute menyisir punggung Gunung Anjasmoro ini sepanjang kurang lebih 1 Km, diselingi turun lembah kecil 3 kali. Dan akhirnya pada pukul 12.50 sampailah kami di puncak Gunung Anjasmoro rute Cangar, setelah menempuh jarak kurang lebih 4 km, selama 4.5 jam. Tuntas sudah penaklukan Gunung Anjasmoro rute Cangar, yang menurut peta topografi yang berhiaskan garis hachures dari Aplikasi ViewRanger, puncaknya berada di ketinggian 2.254 mdpl.

Sayangnya kabut sangat tebal menyelimuti puncak Anjasmoro, yang muncul sejak kami sampai di ketinggian 2.100 mdpl, sehingga tak nampak gugusan gunung dan bukit yang jika cerah terlihat sangat indah. Namun begitu tetap saja kami merasa senang, berada di ketinggian dan tak ada orang lain selain kami bertiga. Setelah makan, ngopi, dan sholat, kami bersantai cukup lama, sekitar 2 jam menikmati hidup sejenak diatas awan. Akhirnya kami turun pukul 14.54.


Perjalanan turun pastinya akan sangat sulit, mengingat dibanyak lereng, kemiringannya sangat terjal. Kami lalui track yang sama dengan saat pendakian, sampai pada tanda pita terakhir yang kami jumpai, jalan setapak terus menurun, kira-kira 30 meter setelahnya tidak lagi kami temukan jalannya. Hari sudah menunjukkan pukul 16.30, dengan bantuan maps sebetulnya kami bisa memperkirakan arah dengan tepat, dan jarak ke titik start  awal pendakian juga sudah tidak terlalu jauh, ditandai dengan suara kenalpot sepeda motor di jalan sekitar pabrik jamur terdengar sangat jelas, namun tidak ada jalan setapak melainkan kearah jurang.  Cukup lama kami melakukan observasi di titik ini, naik turun pada jalur yang sama sampai 2x yang cukup melelahkan, sampai waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Akhirnya kami putuskan untuk menerobos semak belukar pohon paitan, dengan bantuan tongkat yang dibawa MB dan parangnya Pak Dhe, kami terus maju pantang mundur menerobos rerimbunan semak belukar. Alhamdulillah, setelah kira-kira 30 menit kami menemukan jalan setapak  yang kami lalui saat awal pendakian, perasaan lega langsung menyembul di dada kami. Kira-kira 300 meter dari titik start pendakian terdengar suara Adzan Magrib, dan setelah beberapa saat dari berakhirnya adzan Magrib sampailah kami dititk start pendakian.

Untuk pendakian lewat jalur ini, sangat disarankan menggunakan sepatu trekking, bukan sekedar sneakers, karena kemiringan track pendakian yang sangat terjal sehingga saat turun akan sangat sulit bagi siapa saja jika tidak memakai sepatu yang punya grip baik, seperti halnya yang dialami Pak Dhe, saat pendakian masih aman2 saja, namun ketika perjalanan pulang di track menurun tajam, lebih dari 15 kali jatuh terduduk karena terpeleset tanah yang licin atau dedaunan basah. Jika ingin berlama-lama di puncak, saya anjurkan untuk membawa jaket, karena udara dingin dipuncak akan membuat kita menggigil saat duduk2 berdiam diri tidak melakukan gerakan, alih-alih bersantai menikmati suasana puncak, kita malah sangat tidak nyaman karena kedinginan. Dan karena didalam hutan udara sangat lembab, membuat semak-semak selalu basah, jangan memakai celana dari bahan kanvas yang tebal, karena sulit kering saat terkena dedaunan basah, sebaiknya gunakan celana trekking quick dry. Bawa alat navigasi, karena meskipun jalur pendakian pendek seringkali kita kehilangan track pendakian karena lebatnya vegetasi hutan, atau paling mudah dan aman didampingi guide pendakian.

Semoga sekilas tulisan ini bisa menjadi pedoman yang cukup bermanfaat bagi sobat pendaki. Sampai jumpai di jalur pendakian yang lain.

Akhirnya salam 3angleTOP

Saturday, July 4, 2020

PENDAKIAN GUNUNG PENANGGUNGAN


Buka-buka info pendakian di suatu laman, ternyata Gunung Penangggungan sudah dibuka, untuk tahap uji coba pembukaan dilakukan di jalur “KEDUNGUDI”, sementara yang lain masih ditutup. Segera info tersebut saya sampaikan ke rekan MB, karena sebenarnya kami sudah lama merencanakan pendakian Gunung Penanggungan melalui jalur Jolotundo. Singkat cerita, bertiga kami sepakat pendakian dilakukan pada Sabtu 4 Juni 2020.

Kami berangkat dari Malang persis pada pukul 05.00, menuju desa Kedungudi kecamatan Trawas. Meskipun jalanan dari Prigen ke Trawas lebih susah, karena meliuk-liuk naik turun dengan derajad kemiringan yang lumayan extreme, kami pilih jalur ini dari pada lewat Ngoro Industri yang meskipun lebih nyaman tapi selisih jaraknya mencapai 15 Km. Kurang lebih pukul 6.10 kami sudah sampai di Desa Kedungudi, mobil kami titipkan di salah satu rumah penduduk, khawatir diatas tidak ada penjaga parkir, karena kami belum sepenuhnya yakin bahwa rute pendakian ini sudah dibuka. Dari tempat parkir, kami harus berjalan menuju Pos Perijinan Pendakian sepanjang 500 m , dan ternyata sudah banyak sepeda motor yang terparkir disitu, menurut informasi penjaga Pos Perijinan, jalur Kedungudi sudah dibuka sejak hari Sabtu seminggu sebelumnya.

Setelah melapor dan membayar karcis 10rb rupiah per orang, dan melakukan stretching, hiking Mount Penanggungan via jalur Kedungudi kami lakukan tepat pukul 06.37. Perlu diketahui bahwa Jalur Kedungudi ini terletak antara Jalur Tamiajeng dan Jalur Jolotundo. Pemandangan selama pendakian sangat bagus, disebelah kiri nampak Gunung Bekel berdiri kokoh dengan lerengnya nampak sangat terjal, sementara disebelah kanan Arjuna dan Welirang berdiri bersebelahan nampak sangat jelas, dengan Gunung Welirang berada lebih dekat ke arah Penanggungan. Seperti halnya jalur Jolotundo, sepanjang pendakian rute Kedungudi ini akan dijumpai banyak candi dengan urut-urutan Candi Carik – Candi Lurah – Candi Syiwa – Candi Guru – Candi Whisnu,  diatas candi Whisnu ada Goa Butol sebagai point of refference terakhir sebelum menuju puncak Pawitra. Bagi yang nge-camp saya sarankan mendirikan kemah di candi-candi tersebut, karena halaman candi cukup nyaman untuk beristirahat dan lebih terlindung dari angin karena setiap candi tersebut selalu memunggungi bukit, dari pada bermalam di puncak. Selama perjalanan di ketinggian kami disuguhi pemandangan luar biasa, di sebelah kanan kami di arah tenggara titik2 perumahan, guest house, hotel di Prigen & Trawas bagai kotak2 kecil yang berserakan, disebelah kiri arah Utara agak ke Barat Laut Luas Areal Ngoro Industri dengan atap2 pabrik yang besar terlihat sangat jelas, Jauh mata memandang arah Timur Laut nampak samar2 Pond Lumpur Lapindo menggenangi areal yang sangat luas, bisa kita bayangkan ribuan orang yang terusir dari desa kelahirannya karena suatu hal yang tidak mereka inginkan dan mungkin mereka kutuk sepanjang hidupnya, dari Selatan ke Utara dan kearah Timur garis jalan Tol Malang – Surabaya & Gempol – Probolinggo nampak dengan jelas, sementara di kiri kami Gunung Bekel dengan setia mengiringi pendakian kami dan di kanan kami Arjuna Welirang memandangi kami yang sedang terengah-engah sambil mengusap peluh, dan sesekali meneguk air minum untuk menawar dahaga kami bertiga, di kejauhan arah tenggara Puncak Mahameru malu2 menyembul dari kerumunan awan. Sangat beruntung kami hari ini, karena cuaca sangat cerah yang tidak memberikan kesempatan kabut untuk turun menghalangi pandangan kami untuk menikmati pahatan gusti Allah dan karya manusia yang nampak lebih elok di ketinggian. Phase terakhir pendakian kami dari Goa Butol adalah phase tersulit karena medannya sangat terjal, baik saat naik maupun turun menyusahkan kami bertiga, disini trekking pole sangat membantu. Akhirnya sampailah kami di Puncak Pawitra, setelah melalui periode
waktu sepanjang 4 jam 5 menit.

Diatas ternyata sudah ada 8 anak muda yang berkumpul, kami saling menyapa dan berbincang2, dari mereka ternyata ada 3 kelompok, yang kelompok besar berjumlah 6 orang berasal dari Surabaya & Blitar, mereka naik melalui jalur Kedungudi sama seperti kami, sementara dua sisanya rupanya naik ke Pawitra sendiri2 dari jalur Kunjorowesi. Setelah mereka semua turun, kami bertiga masih betah sesaat berada diatas untuk menikmati pemandangan yang luar biasa ini. Setelah puas take picture, kami segera turun melalui jalur yang sama. Sejak perjalanan pendakian seringkali suara music dari HP mas Boiy yang di amplify ke BT Speaker tiba-tiba mati tak tahu sebabnya, dan saat turunpun mengalami hal yang sama, tepat di lokasi candi Guru tiba2 suara music mati, dan beberapa langkah kemudian hidup kembali, akhirnya saya minta mas Boiy untuk balik ke candi lagi, dan benar saja suara music kembali mati, dan kemudian setelah beberapa langkah maju kembali hidup. Rupanya geomagnetic field yang terlalu besar di lokasi candi Guru menyebabkan RF 2.4 GHz yang digunakan wireless data communication Bluetooth terganggu. Saya coba ukur besaran medan magnet bumi dibeberapa lokasi batu andesit yang besar bisa mencapai lebih dari 100 µT, sementara medan geomagnetic normal berkisar antara 25 – 65 microTesla (µT). Di areal Arjuna dan Penanggungan  banyak lokasi2 yang memiliki medan geomagnetic jauh diatas normal, sehingga jangan heran jika kadang2 kompas tidak menunjukkan arah yang presisi, karena geomagnetic field ini dipergunakan sebagai acuan dalam ber-navigasi, tidak hanya oleh manusia namun juga hewan seperti halnya burung dan kura2 saat melakukan migrasi. Dalam perjalanan turun, kami beristirahat makan siang di Candi Lurah, sekitar satu jam kami habiskan waktu disini. Saat kami masih beristirahat menikmati sejuknya udara gunung, datang 3 remaja dengan terengah-engah, kemudian duduk istirahat bersama kami, alhamdulillah kami sama2 beruntung, bahwa bekal makan dan minum kami yang masih tersisa kami berikan kepada mereka, sementara kami turun dengan beban yang lebih ringan.

Semakin kami ke bawah semakin banyak jumpa dengan rombongan anak muda yang naik ke puncak Penanggungan, dalam hitungan saya lebih dari 200 orang, mereka datang dari berbagai kota di Jawa Timur. Rupanya berita pembukaan jalur Kedungudi ini sudah banyak didengar oleh para pecinta alam, dan segera saja mereka mengobati kerinduannya kepada alam setelah kurang lebih 4 bulan lockdown semua jalur pendakian sejak pandemi Corona muncul. Akhirnya kami sampai di pos perijinan pendakian setelah melalui periode waktu selama kurang lebih 3 jam 20 menit, termasuk istirahat selama lebih kurang satu jam di Candi Lurah. Setelah melaporkan kedatangan, kami menuju Masjid desa Kedungudi untuk membersihkan diri dan menunaikan sholat, setelah beristirahat sejenak, akhirnya kami meneruskan perjalanan pulang ke Malang.

Resume pendakian Tek-Tok Puncak Pawitra via Kedungudi, pendakian membutuhkan waktu 4 jam 5 menit, sementara perjalanan turun membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam 30 menit. Panjang jalur pendakian hanya sekitar 4 Km, namun dengan kemiringan yang cukup berat, start dari 660 mdpl menuju ke 1.653 mdpl, yang kalau dihitung pakai rumus arcsinus maka akan ketemu kemiringan rata2 sebesar 14.5 derajad. Pemandangan selama pendakian bagus. Track pendakian relatif aman, karena jalurnya rapi berundak tanah, akar pohon maupun batu, tidak seperti jalur Tamiajeng yang banyak kerikil yang bisa berjatuhan saat diinjak. Petunjuk arah sangat jelas, dijamin aman bagi pemula. Demikian Sobat Alam yang dapat kami share dan semoga bermanfaat.

Akhirnya salam 3angleTOP

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut